0.30 𝐏𝐫𝐞𝐦𝐢𝐞𝐫 𝐭𝐫𝐚𝐯𝐚𝐢𝐥

1.2K 105 8
                                    

Kini usia Haowen sudah mulai satu tahun. Segala makanannya pun perlahan mulai berubah. Tidak hanya asi, tapi juga Haowen sudah bisa memakan biskuit bayi. Tentu Luhan senang. Karena anaknya itu sudah bisa berjalan, meski masih harus dibantu Luhan.

Kesenangan Luhan tak sampai situ saja. Luhan sekarang sudah bisa bekerja seperti janji Sehun tempo lalu. Ternyata suaminya itu tidak mengingkarinya. Ia menempatkan Luhan sebagai karyawannya di kantor. Dan Luhan bisa memulai kerja besok pagi.

Sebenarnya Luhan ragu untuk datang ke kantor Sehun. Pasti sebagian karyawan Sehun di kantor sudah tahu kalau ia adalah istrinya Sehun. Mungkin mereka akan memandang Luhan heran, mengapa ia bekerja di kantor suaminya sendiri.

Namun pikirannya itu seketika hilang begitu saja ketika Sehun datang dan menenangkannya.

"Jangan pikirkan hal yang belum tentu akan terjadi"

Itulah yang Sehun ucapkan ketika Luhan termenung. Suaminya itu memang susah di tebak. Dan Luhan senang kalau Sehun sudah bersikap romantis padanya.

-

"Hei sayang"

Seketika Luhan tersadar dari lamunannya.

"Ke-kenapa Sehun?"

"Kamu melamun lagi?"

Kepala Luhan menggeleng pelan.

"Kamu kenapa sih? Kamu jadi sering melamun kaya gini" Sehun mengusak pelan rambut pirang Luhan.

Istrinya itu tak menjawab. Pandangannya tetap lurus menatap Sehun. Tapi, lama-kelamaan, Luhan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak kuat menatap Sehun. Wajah tampannya itu membuat Luhan oleng.

"Besok siap kerja?"

"I-iya Sehun. Ta-tapi aku mau pergi sendiri saja"

Kening Sehun berkerut bingung mendengar pernyataan Luhan. Seharusnya Luhan sudah tahu kalau ia tidak akan mengizinkannya.

"Kenapa? Kamu pasti sudah tahu jawabanku. Aku tidak akan mengizinkannya" Tolak Sehun dengan nada tegas.

"Kumohon Sehun"

"No, Luhan"

Sehun beranjak dari atas kasur dan kembali ke meja kerjanya. Luhan bisa lihat kalau Sehun mengusak rambutnya kesal.

-

05:12 AM

Lampu dapur terlihat menyala menerangi pasangan suami istri yang tengah sarapan bersama. Suasananya nampak hening. Hanya ketukan sendok dan piring yang terdengar.

"Aku sudah menelpon ibu untuk ke apartemen menjaga Haowen"

Luhan hanya melirik sekilas. Nada bicara Sehun yang terkesan dingin itu membuatnya tak ingin bergerak.

"Kamu masih marah, Sehun?"

"Marah? Marah kenapa?"

"Masalah.. Semalam" Cicit Luhan sembari memakan roti isi itu kedalam mulutnya.

Tak ada jawaban dari Sehun. Ia lebih memilih mengunyah sarapannya daripada menanggapi ucapan Luhan. Bibir Luhan tersenyum hambar. Padahal masalahnya simple. Tapi kalau sudah lihat Sehun seperti ini, Luhan merasa masalahnya itu jadi besar.

"Seh-"

"Nanti aku antar kamu ke halte"

"Tidak mau" Jawab Luhan lirih. Tapi sayangnya Sehun tidak mendengarkannya. Sehun lebih memilih menjauh dari dapur.

Tok tok tok

"Sehun, ini ibu" Teriak Sohye di luar pintu.

Sehun mendekat ke arah pintu dan membukanya. Ia menyuruh ibunya masuk ke dalam. Tubuhnya sedikit menggigil karena terkena terpaan angin pagi.

"Kamu sudah mau berangkat? Mana Luhan?" Sohye menelaah ke dalam seisi apartemen. Luhan tampak datang menghampirinya dengan senyuman manis menyambut ibunya.

"Selamat datang bu. Apa ibu sudah sarapan?"

Sohye hanya mengangguk.

"Oh iya bu, aku sama Luhan mau pergi kerja dulu. Titip Haowen ya"

Mendengar Sehun pamitan, raut wajah Luhan terlihat berubah. Sorot matanya terlihat sayu. Tangannya mencoba menahan Sehun, tapi pria itu langsung menjauh dan keluar dari apartemen. Meninggalkannya yang mematung memandang kepergiannya.

-

Di perjalanan, mereka hanya diam. Mungkin bibir Luhan memang diam. Tapi tidak dengan matanya. Ia terus melirik Sehun yang fokus menyetir tanpa meliriknya.

"Sehun.. Jangan turunkan aku di halte"

"Kenapa?"

"A-aku tidak mau" Ucap Luhan lirih.

Halte yang Sehun tuju sudah hampir dekat. Jantung Luhan pun berdebar tak karuan. Ia sangat takut kalau Sehun benar-benar menurunkannya di halte.

Mobil Sehun berhenti di depan halte. Sehun menoleh, menatap Luhan dengan wajah datarnya.

"Turun"

"Gak mau" Bibir Luhan mulai bergetar.

"Mau aku yang tarik kamu keluar?"

Luhan menggeleng kuat dengan mata terpejam. Bibirnya terus terkatup menahan isakannya.

"Oke"

"Gak mau Se-hun"

Suaminya itu sudah terlebih dulu keluar. Jalan memutar mendekati pintunya. Pintu mobilnya terbuka ketika Sehun berhasil menariknya.

"Turun"

"Hiks gak mau"

"Jangan membuatku marah"

Tubuh Luhan perlahan menjauh dari Sehun. Helaan napas Sehun yang berat pun bisa terdengar jelas di telinganya.

Tanpa Luhan lihat, Sehun sudah membungkukan sedikit tubuhnya. Tatapan tajam yang sedaritadi Sehun tunjukan sudah mulai hilang. Tangannya terulur meraih tangan Luhan. Awalnya Luhan menolak. Karena Luhan pikir, Sehun akan menariknya keluar. Tapi nyatanya tidak. Suaminya itu menarik tangannya untuk mengelusnya. Kecupan lembut pun Luhan rasakan di tangannya.

"H-hah?"

"Maaf ya"

Mata Luhan perlahan terbuka kembali.

"Maaf ya aku sudah kasar sama kamu" Luhan hanya bisa menangis melihat perlakuan lembut Sehun padanya.

"Aku hanya kesal, mengapa kamu tidak mau berangkat denganku karena hal sepele"

Luhan mengusap matanya yang basah.

"Kamu jangan takut sama karyawanku. Jabatanku lebih tinggi dari mereka"

"Maaf Sehun"

"Hm. Sudah jangan menangis" Sehun mengusap pipi istrinya yang basah. Mengecup sayang pipi merah Luhan karena blush on.

"Kita ke kantor ya. Kamu jangan takut. Aku akan terus melindungimu apapun yang terjadi"

"I-iya Sehun"

Luhan melepaskan tangannya yang Sehun genggam. Ia beralih memeluk Sehun dengan erat. Sungguh, Luhan bersyukur mempunyai suami seperti Sehun.

N̶o̶t̶ 𝐁𝐚𝐝 𝐇𝐮𝐬𝐛𝐚𝐧𝐝 [𝐠𝐬] 𝐏𝐭. 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang