Bab 4| Cinta itu Berbahaya, Kira

1.5K 260 3
                                    

Bab 4

Cinta itu Berbahaya, Kira.










Aku terbangun merasakan cacing-cacing di perutku sudah memulai aksi demonstrasi lantaran tak aku beri makan. Sambil tetap mengucek mata aku memandang sekeliling, dan yang aku lihat adalah,

Gelap.

Lalu otakku kupaksa memutar ulang kejadian mengapa lampu di rumahku mendadak padam. Mati lampu kah? Tapi walaupun mati lampu Papa kan sudah memasang lampu-otomatis-nyala-jika-listrik-padam satu bulan yang lalu. Jadi kesimpulannya adal-

Oh Man!

Aku kan sedang bermalam di Jaman Batu! Ah kenapa aku mendadak bisa lupa dan linglung begini sih? Aku merabah-rabah kasur untuk mencari tasku, ah dimana sih tas biru buluk itu? Aku hampir mengumpat lagi saat tanganku merabah tas, yash! Ketemu.

Dengan cepat aku mencari korek guna menyalakan senthir. Sial, bukankah kata Papa, Kakek sudah memasang listrik? Tapi saklarnya masih suka dimatikan. Seketika aku mengingat jawaban Papa di mobil tadi siang. Tobat deh Kakekku yang satu ini.

Setelah aku menyalakan senthir yang cantik itu, aku berjalan keluar kamar menuju dapur sambil berdo'a dalam hati semoga masih ada makanan yang tersisah. Sial kuadrat! Sebenarnya aku ketiduran berapa jam sih?

Lamat-lamat aku mendengar suara tawa orang dari ruang depan Kakek, juga disusul bunyi Skak! Kamu kalah lagi Danu. Itu pasti Kakek dan Papa sedang main catur. Bukannya menuju dapur kakiku malah mendekati sumber suara, dasar laron!

"Eh, Kirana sudah bangun." sapa suara wanita, aku tidak tahu itu siapa karena penerangan tidak jelas dan yang pasti itu bukan suara Mamah karena kalau itu Mamah maka pertanyaan akan berubah jadi begini: Kirana! Akhirnya kamu siuman juga, Mama kira kamu pingsan bukan tidur!

Ah Mama memang sadis.

"Eh iya nih Tante, laper." Jawabku blak-blakan yang herannya aku masih bisa melihat pelototan Mama walau remang-remang begini, hebat!

"Ya ampun, sini sayang, ikut Budhe Ratih yuk ke dapur tadi Budhe masak ayam rica, cah kangkung, ada tempe juga, sambal terasi juga ada."

Mataku berbinar seketika mendengar ajakan Budhe Rat, dengan semangat yang membara aku ikut Budhe Rat ke dapur. Ulala.

***

Aku tidak bisa tidur lagi.

Bagaimana bisa tidur lagi jika aku tidur selama 5 jam, dari jam 4 sampai jam 9 malam, hebat sekali sodara-sodara. Jadilah aku disini, menatap dua orang sedang bermain catur. Menatap Papa yang sedang mengerutkan keningnya, seakan bertanya apa rahasia Kakek Sam kenapa tidak pernah terkalahkan? Yeah, memang Papa tidak pernah mengalahkan Kakek, entah Papa, Om Budi atau Bang Panji. Atau aku.

Sedangkan Kakek Sam malah terlihat santai sambil menyeruput kopi panasnya, jelas perbedaan yang sangat mencolok mataku.

"Kek, kok Kakek enggak pernah kalah dengan Papa?" tanyaku iseng yang membuat Papa merengut.

Kakek Sam menggigit pisang gorengnya, kemudian tersenyum misterius, "Karena kalah tidak ada dalam kamus hidup Kakek, Kirana."

Aku hanya melongo mendengar jawaban Kakek, juga Papaku yang ikut diam.

"Ah masa sih Kek? Satu hal pun enggak ada yang bisa buat Kakek kalah?" aku masih bertanya, makin penasaran.

Kakek Sam memajukan pionnya dan berkata, "Skak!" Papa merengut lagi.

"Ada Kira, satu kali."

Binar-binar penasaran dalam diriku mulai muncul, "Apa Kek?" aku bertanya tidak sabar.

"Oleh Nenekmu, Kakek kalah satu kali."

Nenek? Ah, Nenek Anjani istri Kakek Sam yang sudah tutup usia 19 tahun lalu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rupanya karena Kakek tidak mempunyai fotonya. Err.. Dasarnya aku kepo aku mengabaikan bahwa Kakek akan bersedih jadi bertanya lagi, "Wah, Nenek hebat dong? Kalah dalam hal apa Kek?"

"Jatuh cinta, Kakek jatuh cinta dengan Nenekmu." Kakek Sam menyeruput kopinya yang tinggal se per-empat, "Skak mat! Kamu kalah Nu, ah payah!"

Aku hanya terkekeh, "Wahh, jadi jika kita jatuh cinta kita kalah Kek?"

"Iya, karena jika kita sedang jatuh cinta bukan logika lagi yang main, Kira. Tapi hati."

Aku tidak paham, ya memang betul sih tapi memang apa yang salah?

"Tidak salah, Kira." Seolah membaca isi kepalaku Kakek Sam melanjutkan, tapi hei? Memangnya isi kepalaku mudah sekali tertebak ya?

"Iya," Kakek terkekeh.

"Kakek itu, orang pintar ya?" tanyaku heran.

Papa beranjak, tapi sebelum itu Papa menepuk kepalaku pelan, "Jangan malam-malam, oke?"

Aku nyengir sebagai jawaban.

Kakek Sam menggeleng-gelengkan kepala, "Kamu saja yang mudah ditebak, ah tidak asik."

Aku merengut, tapi segera melanjutkan.

"Tapi, aku gak paham lho Kek, maksud dari kalau kita jatuh cinta kita kalah."

"Karena logika mati dan hati kita yang bekerja, kita akan menuruti pasangan kita Kira, seperti mantra cinta itu. Menghipnotis. Kamu pasti pernah dengar kan kalimat dimabuk cinta? Nah seperti itu cara kerjanya. Kita akan melakukan hal-hal di luar kebiasaan kita hanya karena ingin membuat bahagia pasangan kita. Mungkin juga sampai berkhianat."

"Wah, keren dong Kek?" karena sangking penasarannya, aku bahkan mengabaikan kalimat terakhir Kakek yang terdengar getir.

"Ah tidak, itu berbahaya. Sana kembali ke kamarmu, tidur."

"Tap-"

"Tidur Kira, ini sudah jam satu lewat. Nanti ibumu marah. Besok kamu ikut Kakek berkebun lho."





***

"Kira kamu ambil sabit ya?"

"Kirana, tolong ambilkan cangkul Kakek."

"Kira, kamu pakai topi disana nanti panas lho."

"Oh ya Kira, bantu ibumu siapkan bekal juga!"

"Kira-"

Kira! Kira! Kira!

Ah pagi ini aku sudah sebal maksimal! Kira yang ini lah, Kira yang itu lah! Bla bla bla! Capek tahu! Kenapa semua kompak menjadikan aku budak sih? Apa karena aku yang paling kecil? Ini namanya diskriminasi tahu!

Dengan menggerutu aku mengambilkan sekop di gudang. Bahkan penderitaanku yang sebenarnya belum dimulai tapi yang kata Mama 'pemanasan' bukan hanya membuat badanku panas tapi otakku juga! Dengan bersungut-sungut aku mencari dimana keberadaan sekop keparat itu.

Aku membuka laci, nihil. Membuka lemari, nihil. Memeriksa rak-rak nihil. Mataku melihat sekitar dimana? Dimana? Dimana? Mataku memandang sekeliling lalu melihat 5 sekop berada di pojok gudang. Aku berjongkok untuk mengambilnya, saat sudah dapat dan aku hendak berdiri kepalaku menyenggol sesuatu yang keras.

"Aduh!" refleks aku memegangi kepalaku. Aku menunduk ternyata aku menyenggol sebuah eh.. Buku? Aku memungutnya lalu melihat tulisan yang berada di sampul,

MAJAPAHIT.

Lalu di ujung bawah ada tulisan; Jangan dibaca!

Aku mengernyit bingung. Wah, sepertinya ini buku rahasia. Aku mencoba membuka perekat dalam buku itu, senejak lupa larangan yang tertulis jelas di sampul buku, tapi aku ini Kirana! Semakin dilarang semakin getol pula aku melanggarnya.

"Kirana! Cepat! Kita mau berangkat!"

Ah itu suara Mama, dengan buru-buru aku mengambil sekop itu dan mengantongi buku ini ke dalam celana kodokku di depan dada yang punya saku selebar kantong kanguru.

"Iya Ma!"









Harusnya hari itu, aku tidak mengambil buku itu, harusnya hari itu, aku tidak terkantuk sesuatu yang menyebabkan buku itu jatuh, seharusnya aku tidak penasaran.

Seharusnya.[]

Kira's Time TravellerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang