Bab 23
Pertunangan.
Jika biasanya para pasangan yang melangsungkan pertunangan akan bersikap malu-malu gemas atau setidaknya bahagia karena mereka akan melanjutkan ke tahap yang lebih serius. Berbeda denganku, aku malah sibuk membenarkan posisi dudukku yang tidak nyaman. Bukan, bukan masalah kursi ini, masalahnya berada padaku.
Setelah tadi bergeser membenarkan duduk yang sudah kesekian kali, aku memutuskan untuk duduk manis. Semua yang berada di ruangan ini khidmat mendengarkan pembawa acara memimpin acara ini. Aku juga sudah mencoba rileks.
Emang ya, beda banget pertunangan dari kalangan sudra sama pertuangan kalangan brahma. Bedanya itu antara langit sama tanah. Beda jauh. Kalau di rumah, bawa aja orang tua sama buah tangan, minta restu, tukar cincin, beres deh.
Kalo ini, aku memandang sekeliling. Mewah, megah, fantastis. Aku nggak bisa membayangkan, sudah habis berapa duit untuk menggelar acara seperti ini. Dan semua ini hanya untuk pertuanganku?
Mataku mencuri pandang Naresh yang berada di depanku, pemuda itu tampak tenang seperti biasa. Aku masih menatapnya saat bola mata hitam itu bergerak dan berhenti tepat memandangku. Aku menyunggingkan senyum tipis yang dibalas Naresh seadanya.
Aku mengalihkan tatapan. Tuh kan, moodnya berubah lagi. Naik turun nggak keruan. Setelah lama merenung, aku memang tidak tahu apa-apa soal Naresh. Aku bahkan harus bersusah payah mencarinya sendiri untuk mengerti situasi apa yang sedang terjadi. Kapan sih aku bisa menemukan jalan untuk kembali?
Kenapa Naresh ingin aku tetap melanjutkan peranku?
Pertanyaan itu tiba-tiba melintas di kepalaku, aku menggeleng perlahan. Aku tidak pernah menanyakan hal itu padanya.
Bahuku diguncang pelan, "Kesara?"
Aku mengerjap linglung, "Eh? A.. Iya Ibunda?" tanyaku cepat.
"Kamu melamun? Sekarang acara tukar cincin."
Spontan saja aku menoleh sekeliling, ternyata semua orang tengah menatapku. Sedikit tergesah aku beranjak dari tempat dudukku menuju panggung kecil yang sudah diatur sedemikian rupa, agar semua tamu bisa melihat kami.
Dengan kikuk aku berdiri di hadapan Naresh, pemuda itu menatapku tanpa kata. Mungkin saja sedang mengutuk karena kecerobohanku barusan. Aku berdeham, mengalihkan pandangan, menyapa dengan senyum ramah pada rakyat.
Orang yang sendari tadi memimpin acara kembali melanjutkan, dayang masuk dengan membawa nampan berisi cincin, sesuai intruksi Naresh mengambil cincin indah dengan ukiran bunga dan permata kecil tunggal di sana. Waw, itu bagus banget. Aku mendengak, sedikit menatapnya. Perlahan tanganku terangkat menerima uluran tangannya, jari manisku diangkatnya sedikit dan cincin itu tiba-tiba saja sudah melingkar di tanganku.
Suara tepuk tangan bergema di ruang yang mirip aula super besar itu, mau tidak mau aku tersenyum canggung. Kini giliranku yang mengambil pasangan cincinku, tentu dengan ukuran yang lebih besar. Cincin itu polos tanpa hiasan, mengabaikan debar jantungku yang menggila, aku mengenggam tangan hangat ini, tangan kananku bersiap memasangkan cincin itu pada jemari Naresh.
Aku menghembuskan napas perlahan-
Brak!
Suara pintu utama dibuka secara kasar, mengalihkan fokus semua orang termasuk diriku sendiri pada siapa yang membuka pintu. Lalu muncul sosok Isvara dengan kebaya megahnya tersenyum lebar diikuti Puri. Mataku membelalak, sedang apa dia disana?
Isvara menatapku lama, lalu mengalihkan tatapannya pada semua orang dan berseru lantang, "Dengarkan semuanya, pertunangan ini tidak bisa dilanjutkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kira's Time Traveller
FantasíaAda banyak hal di dunia ini yang Kirana benci. Tapi, posisi nomer satu diambil oleh Pelajaran Sejarah juga Bu Maryam guru sejarahnya, lantaran Kira selalu kena hukum. Pokoknya Kira benci Sejarah. Selain Sejarah, nomor kedua yang dibencinya adalah Ma...