16. Another Feelings

30.4K 2.9K 321
                                    

Mili kembali ke rumahnya dengan membawa piala dan sertifikat yang ia raih. Mamanya menatap Mili dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Dari mana kamu?” tanya Vena bingung.

Mili menunjukkan deretan giginya. “Mili jadi juara ketiga Lë Fashion Designer Competition, Ma. Mama tau itu merk terkenal, ‘kan? Seluruh dunia juga tau, Ma! Mili jadi salah satu juara dan desain Mili bakal dipake buat—”

Belum selesai Mili berbicara, Mamanya langsung memotong dengan tatapan tak suka. “Itu semua sia-sia kalau nilai akademis kamu semakin menurun.”

Mili menarik napas dalam-dalam.

“Ma, Mili nggak pernah berniat mau jadi anak yang durhaka. Tapi apa Mama nggak ngerti kalo nilai akademis itu cuma jadi berapa persen faktor kesuksesan?”

Vena menatap Mili tajam. “Kamu cukup dapat nilai yang bagus seperti Melo dan itu sudah buat Mama bahagia.”

Mili menghela napas berat. “Tapi semua orang bisa hebat dibidangnya masing-masing, Ma. Nggak semua orang harus selalu jago di satu bidang aja.”

“Terus apa yang mau kamu banggain?”

“Kamu cuma juara tiga, Mil. Bukan juara satu!”

“Itu tandanya kamu juga nggak berbakat!” sentak Vena yang justru menjatuhkan Mili.

Mili menatap Mamanya lekat. “Ma, tapi ini tuh brand yang udah mendunia—”

“Itu nggak ada artinya buat Mama. Mama cuma mau kamu sekolah yang bener terus nanti lanjutin perusahaan Mama sama Papa. Ngerti?” Vena semakin menekankan.

“Terserah Mama deh.”

“Mili bakal buktiin sama Mama kalo Mili bisa!” Mili memasuki kamarnya dengan perasaan yang sudah bercampur aduk.

“Nggak usah ikut lomba-lomba nggak penting kayak gitu lagi!” Suara Vena dari luar terdengar jelas di telinga Mili.

Mili memejamkan matanya lalu menatap foto Papanya yang ia letakkan diatas meja. Ia baru ingat jika ia belum memberi kabar gembira ini pada Papanya. Ia harus ke rumah sakit dan menunjukkan piala ini pada Papanya. Namun pasti Mamanya tak akan mengizinkannya untuk keluar rumah lagi.

Ia mengetukkan dagunya lalu menatap jendela kamarnya. Ia membawa piala itu lalu segera membuka jendela itu.

Ia menatap ke bawah. Kamarnya ada di lantai dua, tetapi ia harus turun ke bawah. Bagaimana jika ia akan mati konyol?

Sedangkan ia bukan kucing yang memiliki nyawa banyak.

“Gue nggak peduli! Pokoknya Papa harus tau!” Mili mulai keluar dari jendela dan turun dengan perlahan ke atap terdekat yang ada di bawahnya.

Sedangkan di seberang sana, Arka menatap Mili dari jendela kamarnya. Sedang apa gadis itu keluar dari jendela malam-malam sembari membawa piala tanpa tangga? Apakah gadis itu sudah gila?

Arka keluar dari kamarnya untuk segera menghampiri Mili.

Sedangkan Mili kini memejamkan matanya. Ia menarik napas kuat-kuat.

“Kayaknya gue harus lompat.”

“Tapi gue bakalan jatoh deh.”

“Tuhan, semoga gue nggak mati konyol gara-gara ini!”

“Kalau gue jatuh, semoga nggak sakit. Tolong ya, Tuhan!”

Mili menarik napas lagi. “Semangat Mili!”

“Satu!”

“Dua!”

“Tiga!”

Kali ini Mili benar-benar lompat ke bawah. Benar saja, ia terjatuh dan kini kakinya terasa begitu sakit.

Broken Memories [Telah Diserieskan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang