[Kalau bisa, bacanya sambil dengerin multimedia ya]
“Pergi bakal lebih baik dibanding gue harus bertahan buat orang yang hatinya bukan buat gue.”
▪️▪️▪️
Beberapa minggu sudah berlalu. Mili terus mencoba untuk memberi jarak antara dirinya dan Arka. Mili perlahan-lahan mencoba untuk melepas bayang-bayang sosok itu dari benaknya meskipun rasanya itu adalah hal yang sulit yang harus Mili lakukan.
Mili pikir, kehadiran Arka akan membuatnya percaya jika tidak semua kisah cinta itu menyakitkan. Mili kira, perasaan yang ia rasakan untuk Arka saat ini akan mengobati semua luka di masa lalunya. Akan tetapi ia salah, semuanya berbanding terbalik dengan apa yang ia harapkan.
Kenyataan memang tidak selalu bisa sesuai dengan apa yang diharapkan. Apa yang diinginkan juga tidak selalu bisa menjadi kenyataan. Jika diibaratkan, kenyataan seperti pil pahit yang mau tidak mau harus kita telan.
Rasanya, melupakan adalah hal yang harus dilakukan agar semuanya tidak semakin menyakitkan. Karena segala sesuatu yang dipaksakan ujungnya tidak akan bisa membahagiakan.
Kini, bel pulang sekolah sudah berbunyi. Mili segera mengemas semua barang-barangnya ke dalam tas berwarna merah muda yang biasa ia kenakan ke sekolah.
Mili menatap pintu kelasnya yang kini sudah terbuka, satu per satu murid di kelasnya berjalan ke luar. Ia menarik napas dalam-dalam, tak bisa ia pungkiri, semua kenangan yang ia lalui bersama Arka tidak bisa ia hapuskan begitu saja. Semuanya masih terlintas dengan jelas di benaknya dan semakin kenangan itu teringat, perasaan menyakitkan itu semakin menjadi-jadi di dalam relung hati Mili.
Mili masih ingat semuanya. Ketika Arka berdiri di depan kelas Mili untuk menunggunya pulang bersama. Ketika ia menaiki motor Arka. Semuanya masih bisa Mili ingat dengan jelas. Melupakan itu memang suatu hal yang berat dan menyakitkan, tetapi itulah yang harus Mili lakukan sekarang.
Lamunan Mili seketika terhenti ketika ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Vena, Mamanya. Dengan cepat, Mili mengangkat panggilan itu.
“Halo, Ma?” ujar Mili membuka percakapan.
“Pelajaran kamu udah selesai, Mil?” tanya Vena.
“Iya, sebentar lagi Mili pulang kok. Kenapa, Ma?”
“Tadi Mama pesan es kopi sama Keno di Blurry Café. Mama boleh minta tolong sama kamu buat ambilin nggak? Kamu bisa ke sana sama Arka, kan?” Entah mengapa, mendengar nama itu membuat perasaan Mili semakin tak karuan. Ia memejamkan matanya sejenak dengan tetap memegang ponsel di tangannya.
“Mil, kamu bisa, kan?” ulang Vena karena tidak ada jawaban dari Mili.
“Iya, nanti Mili ke sana dulu.” Mili menutup panggilan itu.
Iya, Mili akan ke sana, tetapi tanpa Arka. Tidak bersama Arka lagi.
Ia meraih tasnya lalu berjalan untuk meninggalkan kelasnya. Seperti perintah mamanya, sebelum ia pulang, ia bergegas terlebih dahulu menuju Blurry Café. Tempat sejuta kenangan antara Mili dan Arka. Tempat yang rasanya bisa dibilang saksi bisu atas kisah yang terjadi antara mereka berdua. Walaupun kini, kisah itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Mili berjalan menuju meja kasir, menghampiri sesosok lelaki yang berusia dua puluh dua tahun yang tengah berdiri seraya tersenyum. Ia adalah Keno, pelayan setia di kafe ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Memories [Telah Diserieskan]
Roman pour Adolescents#1 Semesta [07/05/20] "Kenapa sih gue harus suka sama orang yang hatinya bukan buat gue?" "Ngapain juga gue masih nungguin dia buat suka sama gue?" "Salah sendiri lo nggak pernah buka hati buat orang yang suka sama lo." "Nggak usah sok tau deh lo. E...