⟦ p e r m u l a a n ⟧
୭̥⋆*。
Awalnya, satu-satunya yang spesial di salah satu Rabu Oktober pagi itu adalah kemeriahan acara tahunan yang diselenggarakan oleh alumni sekolah kami. Siapa sih yang tidak suka makan gratis dan jam kosong? Acara ini sepertinya sudah setara dengan pesta prom yang selalu dinanti-nanti anak SMA kami karena berhasil mengombinasikan dua hal yang membuat sekolah jadi tidak buruk-buruk amat. Kabar baiknya, berbeda dengan prom yang cuma bisa dinikmati sekali sepanjang kehidupan SMA, acara ini datang tiap tahun bagai penghibur di tengah monotonnya rutinitas.
Segmen talkshow begitu semarak di dalam aula besar. Lapangan besar milik Smagada ditata sedemikian rupa, penuh oleh stand-stand universitas yang dikerumuni oleh wajah-wajah penasaran dan antusias. Tim dekorasi membuat sekolah kami tampak seperti tengah mengadakan festival.
Hari itu memang spesial bagiku, tapi di saat yang sama juga biasa saja. Tahun ini adalah tahun keduaku dan segalanya sudah begitu familier hingga rasanya cenderung hambar.
Mungkin itulah sebabnya semesta mempertemukanku pada netra almon yang sama sekali asing; membiarkanku menebak-nebak dari mana asal letupan yang turut mengiringiku hingga aku pun menyerah menghitung hari. Aku ingin mempercayai rasa itu cuma sementara, tapi semesta seolah menertawai: sementara baginya bisa jadi selamanya untukku.
*
t w i n k l e s .
*
"Kinar, Helga mana? Kalian nggak masuk ke aula?" Adalah Abra, seorang lelaki yang kukenal sejak SMP, yang menghampiri tempatku duduk di pinggir koridor aula. Perawakannya yang menjulang membuatku harus ekstra menengadah demi menghadap wajahnya.
"Helga lagi ke kamar mandi." Mataku lantas mengarah pada sesuatu yang Abra jinjing di tangan kanannya. Sebuah gitar. "Lo mau tampil ya nanti?"
Abra memamerkan seringai. Mengangguk. "Seratus buat lo! Btw, gue mau nitip ini ke lo bentar, bisa, Kin? Gue perlu balik ke kelas, ada yang ketinggalan."
Tanpa memikirkan apa pun, aku mengiakan. Toh, kenapa juga harus menolak?
Sepeninggal Abra, aku mengamati gitar yang bersandar pada bangku di sebelahku. Tiap melihat alat musik, rasa kecewa selalu hadir mengingat sedari dulu aku sangat tertarik untuk mempelajari maupun memainkan mereka, apa pun itu, tapi sepertinya aku tidak terlahir dengan nada-nada dan melodi yang mengalir dalam darahku. Semua alat musik yang pernah kupelajari tidak ada yang kusentuh lagi sampai saat ini. Pun, aku memilih untuk menjadi penikmatnya saja.
Tanganku tergerak untuk meraih gitar milik Abra, namun sebuah suara lebih dulu menahanku.
"Eh, misi, itu gitar Abra bukan?" Terkesiap, aku bergegas menarik tangan dan menoleh. "Tadi Abra bilang dia nitipin gitar ke cewek yang duduk di depan kolam ikan samping aula."
Begitu menemukan siapa gerangan di balik suara itu, bayangan akan netra almon yang unik jatuh di retinaku untuk pertama kali. Seorang lelaki dengan rupa wajah yang asing. Arah pandangannya kemudian turun pada bagian kanan kemeja seragamku.
Raut lega langsung tercetak di mukanya. "Oke, gue nggak salah orang. Makasih ya, Kinar, sori Abra ngerepotin. Gitarnya gue ambil, boleh?"
Untung aku lekas sadar diri. "Oh," aku berderham sekali, "boleh, kok. Ambil aja."
"Nice." Tatapanku mengikuti gerakan tangannya yang menggenggam mantap leher gitar. Tulang pipinya menonjol begitu ia tersenyum kecil, meski singkat. "Thanks. Duluan ya, Kinar."
Begitu saja, pertemuan itu berlalu. Tapi aku tahu ada yang masih tertinggal; ialah rasa asing yang bersemayam di benakku untuk waktu yang lama dan aku tahu lelaki itu penyebabnya.
୭̥⋆*。
notes:
sighs, semester ini cepet banget berlalunya, somehow i feel so overwhelmed. terlalu banyak yang terjadi ga sih...pusing pusing. semoga kita bisa melalui ini semua ya sampe keadaan balik normal lagi huhu.
yogyakarta, 30 april 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
twinkles.
Short StoryHanya tentang seorang Kinar yang ingin menyimpan kelap-kelip mata Sam. Kilanara Kinar mengagumi nyala hangat dari seorang Rasi Samudra, laki-laki super ramah yang tawanya menular dan disukai semua orang. Menyimpan rasa sukanya sendiri, Kinar dibawa...