10 | bubar

1.5K 392 43
                                    

⟦ 10 | bubar ⟧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

10 | bubar

⁺೨*˚·

"Sam! Sori gue telat. Mana gue datengnya di lagu terakhir banget."

"Gue nggak tau lo bakal dateng, Jem. Makasih, ya."

"Ih, gue 'kan selalu berusaha dateng tiap lo tampil. Eh, halo, kalian! Tadi keren banget sih sumpah, sedihnya gue cuma liat bentar doang. Tapi kalian tetep kece parah."

Aku tidak pernah suka menjadi pusat perhatian. Memperhatikan dan mendengarkan orang lain berbicara terasa lebih mudah. Tapi, aku jelas tahu perbedaan di mana aku menikmati percakapan yang terjadi di sekitarku ataukah sama sekali tidak nyaman karena merasa terpinggirkan. Untuk sekarang, pilihan kedua menggambarkan segalanya.

Gadis yang baru datang itu adalah gadis yang pernah kulihat tengah berjalan dan bercanda bersama Sam. Namanya Jemima. Orang-orang—termasuk Sam—memanggilnya Jem. Dalam beberapa detik setelah ia bergabung ke meja kami, aku langsung tahu bahwa dirinya merupakan tipe kepribadian yang mendominasi dan menyita perhatian. Terbukti bahwa konversasi yang terjadi berada di bawah kendalinya.

Dan aku tidak bisa mengelak bahwa Sam terlihat ceria. Ia banyak tertawa, melontarkan lelucon. Beberapa kali tanpa sadar aku memperhatikan bekas luka kecil di pangkal hidungnya, yang baru kutemukan saat ia membantuku melepaskan helm di pelataran parkir tadi.

"Eh, mau pindah, nggak?"

"Ke mana?"

"Nggak tau."

"Yeee, elu mah. Karaokean aja gimana?"

"Hm, boleh juga."

"Lo ikut nggak, Jem?"

"Boleh? Kalo boleh gue mau-mau aja. Sam, lo ikut, kan?"

"Kin," Helga berbisik, menyenggol lenganku. "Lo mau ikut?"

Aku menggeleng pelan. Mendadak tidak bersemangat. "Gue pulang aja, ya?"

Helga menghela napas. "Gue juga, kayaknya. Mana gue tau Jemima bakal nimbrung. Gue kurang sreg sama dia, tipe yang caper banget."

Aku cuma tersenyum masam.

"Eh, guys, pengumuman, pengumuman!" Helga menarik perhatian mereka. "Gue sama Kinar undur diri dulu, ya, nggak ikutan karaokean. Kalian have fun."

"Kok gitu, sih, Hel?" Abra bertanya. "Kan lo yang ngerencanain mau keluar abis ini."

"Nggak mood," ujar Helga jujur. "Kayaknya gue mau dapet. Perut gue mulai nggak enak," lanjutnya berbohong, kemudian, "Gue bisa pulang sendiri, kok. Lo nggak usah nganter gue."

"Nggak bisa gitu, dong. Gue anterin lo. Mau balik sekarang?"

Helga beralih padaku.

"Gue bisa pesen ojol," ucapku sebelum ia sempat bersuara. Helga mengangguk.

"Ya udah, yuk."

Berpamitan singkat, aku, Helga, dan Abra berjalan keluar kafe. Angin dingin di luar tak segan menyengat kulitku, seketika membuatku menyesal tidak membawa kardigan atau pun jaket. Mana sempat memikirkan hal itu kalau aku diburu waktu sore tadi?

"Hati-hati, ya, Kin. Sori acara tahun baruannya jadi rusak. Ya ampun, padahal gue pengen banget tahun baruan sama lo, sama yang lain juga, tapi kenapa sih halooow itu cewek harus ikut-ikut!? Nggak enak juga kalo diusir." Helga memelukku sebelum menyusul Abra menuju motornya.

Aku membalas lambaian Helga ketika motornya melaju meninggalkan kafe hingga hilang di kelokan. Hendak memesan ojol, aku mendesah, lupa kalau paket dataku habis. Akhirnya aku putuskan untuk kembali ke dalam demi mendapat password wifi kafe. Memutar tumit, gerakanku terhenti melihat seseorang membuka pintu kafe.

Netra almon yang familier itu bertemu dengan milikku.

Binar matanya penuh kelegaan.

Tubuhku kaku.

"Untung lo belum pergi," katanya, mendekat. "Gue merasa bersalah nggak nganterin lo balik padahal lo ke sini sama gue. Lo ... belum pesen ojol atau minta jemputan, kan?"

Aku menggeleng patah-patah.

Bahunya menurun. Senyumnya terkembang. "Ya udah, yok, gue anterin lo. Eh, iya, nih lo pake. Dingin banget ternyata. Bakal kegedean sih di lo, tapi daripada gue bikin anak orang sakit?"

Untuk beberapa detik lamanya, aku hanya bisa menatap hoodie biru di tangannya dalam diam.

⁺೨*˚·

notes:

:)

yogyakarta, 14 mei 2020.

twinkles.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang