⟦ 5 | pertanyaan kedua ⟧
⁺೨*˚·
"Makasih, ya, Pak. Hati-hati di jalan!"
Kekehan disusul anggukan sopan aku terima sebelum bapak ojek daring yang mengantarkan bekalku berlalu dengan motornya. "Sama-sama, Neng. Semangat sekolahnya ya, Neng!"
Sepuluh menit setelah aku sampai di kelas pagi tadi, papa menelepon. Bekalku ternyata tertinggal di mobil dan karena akan memakan waktu lebih untuk memutar balik, akhirnya ojek daring menjadi solusi. Sepuluh menit sebelum bel berbunyi, bekalku datang. Lalu sekarang, di sinilah aku berakhir; menyatu bersama arus siswa-siswi yang tergesa memasuki gerbang, diiringi riuh derum kendaraan bermotor yang melaju pelan.
"Halo, Paa?"
"Bekalnya udah sampe, Kinar?"
"Udah, Pa, aman. Ini barusan aja aku ambil."
"Huft… Syukur deh. Untung Papa langsung ngeuh bekal kamu masih di mobil, lho. Kalau nggak, 'kan berabe, makan apa nanti anak Papa satu-satunya ini?"
Telepon itu tak lama usai, tapi senyumku masih betah melekuk. Papa selalu punya caranya untuk menghidupkan suasana.
Langkahku sudah melewati gerbang Smagada dan sayangnya aku harus melintasi arus siswa karena gedung kelas sebelas ada di bagian seberang. Kadang aku mengutuki denah Smagada yang terlalu luas.
Harus ekstra berhati-hati, di satu titik aku berhenti untuk mencari celah yang agak lebar di antara motor-motor yang berlalu.
Lalu napasku terhela lega begitu satu motor memelankan lajunya. Sempat melirik pengendaranya untuk memastikan, di situ aku yakin mataku agak melebar sedikit. Sesuatu di dalam dadaku mengembang seketika.
Di antara ratusan siswa, adalah Rasi Samudra yang saat ini duduk di motornya, senyum terbentang menyapa, lalu anggukan kepalanya satu kali mempersilakan.
Aku pun menyeberang. Langkahku berlomba dengan dentaman di dada.
"Oi, Sam, Sam! Buruan jalan elah, dah telat ni kite!"
"Lo mau gue nabrak anak orang apa gimana sih? Suruh siapa telat."
"Lah, kaga ngaca ni bocah."
Percakapan itu pun diputus geraman mesin. Jarak di belakangku makin terbentang. Yang masih tersisa adalah hangat dan gelitik di bibir; aku bertanya-tanya, masihkah banyolan papa yang menjadi penyebab, ataukah yang lain?
*
"Kinar, boleh pinjem catatan fisika, nggak?" Permintaan itu datang setelah tepukan ringan mendarat di bahu.
Pun, disusul oleh suara lain yang menimbrung, "Eh, gue juga dong, Kin. Mau foto, ya."
Aku mengangkat tanganku yang mengisyaratkan tanda 'ok' karena mulutku tengah mengunyah menu bekalku hari ini: prol pisang buatan mama. Begitu menemukan buku yang mereka mau, aku menyerahkannya.
"Asli, lo emang yang paling baik, Kin. Makasih, ya!"
"Mm-hm."
"Sumpah, Kin," Helga yang sedari tadi memperhatikan dari bangku sebelah bersuara, "lo nggak berniat jual catatan? Lumayan tau. Mau UAS juga, nih, pasti laku keras."
Tak perlu waktu banyak untuk menimpuknya dengan kotak bekal yang kebetulan ada di tangan. "Gue bukan lo, ya."
"Sumpah, kayaknya gue emang salah kelas, deh. MIPA 6 isinya anak ambis semua terus antisosial, lo juga, beda banget sama gue."
"Asosial, kali, maksud lo," aku mengoreksi.
"Hah? Ya pokoknya itu, deh. Heran banget, yang bagiin kelas siapa, sih? Tega banget masukin gue ke sini."
"Itu artinya lo lagi secara halus dikasih tahu biar lebih semangat belajarnya, jangan pacaran mulu."
Helga merengut. "Dih, mana ada gue pacaran mulu!"
"Lo. Sama Abra."
"Dih, lo nggak tau aja gue keseringan nemenin Abra belajar daripada nge-date lucu-lucuan gitu. Nggak asik banget. Nggak lo, nggak Abra, ambis semua."
"Ya, ya, ya. Seharusnya lo tuh bersyukur tau dapet pacar kayak Abra, kan bisa diajak belajar bareng. Nge-date lucu-lucuan tuh kayak gimana sih, emang?"
"Makanya lo sih cari pacar biar tau."
"Nggak nyambung lo."
"Btw, semenjak temenan sama lo nih, nggak ada tuh gue denger lo curhat tentang cowok. Lo nggak ada naksir siapa-siapa, emangnya? Bisa ya kayak gitu?"
Aku berpaling darinya. Memilih untuk mempersiapkan buku mata pelajaran selanjutnya.
Tahu-tahu Helga mendekatkan kepalanya dan berbisik, "Lo naksir siapa, Kin? Gue nggak ember tau orangnya, rahasia lo terjamin seratus persen. Adnan? Dia cowok tercakep di kelas kita. Atau, Faris? Anaknya ramah kan, tuh. Atau, atau, Chandra? Nggak banyak omong sama kayak lo, tapi kalo presentasi berasa orang paling pinter sedunia."
"Apa sih lo, nggak ada."
"Ya udah, lo suka cowok yang kayak gimana? Gue cariin."
"Hel!"
"Kilanara Kinar, my dear chairmate, kita tuh harus punya banyak pengalaman selagi masih muda. Lo pernah, nggak, bolos dari acara Smagada? Atau bolos kelas? Lo harus coba. Sekali, seenggaknya, karena kenangan kayak gitu yang bakal bikin pengalaman SMA jadi memorable. Pacaran juga. Biar SMA tuh nggak cuma soal belajar mulu. Kita harus manfaatin masa muda kita sebaik-baiknya."
Mulailah Helga dengan petuah tidak masuk akalnya. "Ngomong apa sih, looo?"
"Liatin aja, nanti ada saatnya lo bakal mikir kata-kata gue ada benernya!"
"Emang lo ngomong apa aja, sih, barusan? Serius, kuping gue lagi mode off kayaknya tadi."
"Bodo amaaat, lo ngeselin parah!"
Aku terbahak. Helga menghadapkan belakang kepalanya padaku, tampaknya ponselnya jauh lebih menarik kali ini.
Tapi, kalau boleh jujur, ada satu wajah yang muncul ketika aku memikirkan kembali pertanyaan Helga.
Masa ... iya?
⁺೨*˚·
notes:
halo. aku ngebadut lagi gapapa ya, gajadi seminggu lagi apdetnya karena uasku selesai besok sebenernya.
jujur banget kemaren sempet insekyur nulis cerita ini, tapi komen-komen kalian di part sebelumnya membantuku melewati masa-masa berat itu :"") makasih ya yang udah jawab, it means a loooot.
im proudly saying draft-nya udah selesai! gasabar deh publish-nya biar bisa cepet kalian baca.
enaknya update berapa kali seminggu? atau tiap hari?
yogyakarta, 12 mei 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
twinkles.
Short StoryHanya tentang seorang Kinar yang ingin menyimpan kelap-kelip mata Sam. Kilanara Kinar mengagumi nyala hangat dari seorang Rasi Samudra, laki-laki super ramah yang tawanya menular dan disukai semua orang. Menyimpan rasa sukanya sendiri, Kinar dibawa...