⟦ 23 | tentang kemarin ⟧
⁺೨*˚·
"Kemaren ... gimana?"
Pertanyaan itu tiba-tiba muncul saat aku dan Helga tengah bersandar pada pagar balkon, menikmati istirahat setelah pelajaran olahraga.
Helga melirikku hati-hati. Aku yang langsung paham arah pertanyaannya cuma mampu tersenyum seadanya, kemudian menghela napas mengingat apa yang terjadi di ruang rawat Sam sepeninggal dirinya dan Abra.
"Nggak gimana-gimana," sahutku mengangkat bahu.
Helga berpaling dariku, menatap kejauhan dengan sorot menerawang. "Gue nggak pernah liat Abra semarah itu, Kin," katanya murung. "Kadang gue lupa dia keras kepala orangnya. Meskipun gue udah berusaha nenangin, dia bersikeras nggak mau ketemu Sam lagi. Kata dia, buat apa sih, Hel, kalo nyatanya dia nggak butuh gue? Dia mau melalui itu semua sendirian, kan? Turutin aja maunya." Ia meloloskan napas panjang, lalu balik menatapku lagi. "Sori ya lo jadi sendirian di dalem."
Aku menggeleng. Masih menelisik kehijauan Smagada yang mulai mengering.
"Gue merasa harus melakukan sesuatu, Kin," ujar Helga lagi. Rautnya tampak terganggu. "Sam ... bilang apa-apa gitu nggak ke lo? Abra emang susah diajak jenguk Sam, tapi Krama sama Gibran masih bisa dilobi. Abra biar jadi urusan gue. Gue merasa mereka harus ngomong satu sama lain. Terutama Sam, sih."
Terpekur, aku jadi sedikit merasa bersalah karena mengetahui lebih dulu cerita Sam yang perlu juga didengar oleh yang lain. Namun, bagaimanapun, cerita Sam bukan hakku untuk membicarakannya dengan siapa pun.
"Menurut gue, Hel," ujarku, menimang-nimang, "maksain mereka buat ngobrol mungkin cara yang instan, kalo itu emang maksud lo. Tapi gue rasa mereka udah sama-sama bisa mikirin yang salah dan yang bener menurut mereka sendiri, ya kan, Hel? Ini ... menurut gue ya sekali lagi; kalo emang pertemanan mereka prioritas dari masing-masing, gue percaya pelan-pelan mereka bakal sadar dan minggirin ego sendiri. Mungkin, mereka cuma butuh waktu."
Ada hening yang tak sebegitu panjang tapi cukup membuat Helga berpikir sejenak dan menyunggingkan sudut bibirnya. "Nggak mungkin 'kan Sam nggak ngomong apa-apa ke lo, Kin?" tanyanya. "Hm, I should've known."
Aku mengempit bibir. Membiarkan Helga pada pikiran yang ingin ia percayai saja.
"Tapi lo ada benernya, sih," gumam Helga. "Mungkin gue cuma takut aja mereka nggak bakal baikan. Sohib banget mereka, tuh, asli, kalo lo dari awal banget nyaksiin gimana mereka dari malu-malu tai ayam sampe sekarang yang nggak peduli nilai jelek yang penting nge-band bareng ..." Helga memegang kepalanya. "Argh, pusing gue."
Aku menepuk-nepuk bahunya beberapa kali. Sedikit aku bisa membayangkan perasaan Helga sekarang. Kuakui aku masih berada jauh dari lingkaran mereka, masih sepenuhnya baru; satu-satunya yang menyeretku ke lingkaran itu tidak lain ialah Helga sendiri. Helga tampaknya selalu bersikeras menyeretku untuk memasuki pertemanan yang ia punya supaya aku tidak terlalu terkungkung di duniaku sendiri. "Hel, lo temen yang baik banget, lo tau itu, kan?" ucapku tulus. Teringat kata-kata yang persis sama ia lontarkan tempo hari.
Dan seharusnya aku tahu responsnya akan membuatku kesal. Helga terkekeh. "Lo baru sadar itu sekarang? Dari dulu sih gue udah sadar, ya, Kin."
Kudorong jauh-jauh bahunya. Helga makin tergelak. Seolah-olah sebelumnya ia tak pernah mempertunjukkan raut kusut dan murungnya. Lalu ketika tawanya pudar, Helga menceletuk, "Eh, Kin."
Aku ber-hm singkat.
"Lo tau ... kalo lo mau jenguk Sam sendirian, nggak ada yang ngelarang, kan? Lo nggak perlu ngikutin kata-kata Abra. Toh, lo yang lebih tahu situasinya gimana. Gue rasa ... mungkin ... Sam lebih nungguin lo daripada temen-temen band-nya."
⁺೨*˚·
notes:
bakal kangen helga :(
semarang, 18 mei 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
twinkles.
Short StoryHanya tentang seorang Kinar yang ingin menyimpan kelap-kelip mata Sam. Kilanara Kinar mengagumi nyala hangat dari seorang Rasi Samudra, laki-laki super ramah yang tawanya menular dan disukai semua orang. Menyimpan rasa sukanya sendiri, Kinar dibawa...