⟦ 15 | mengulur perlahan ⟧
⁺೨*˚·
Sam adalah milik semua orang yang juga memuja binar-binar matanya, yang juga kecipratan perlakuan baiknya. Tapi di saat yang sama, Sam bukan milik siapapun, ia bebas melakukan apa yang ia mau; meratakan kerendahan hati yang ia punya pada orang-orang di sekitarnya yang ia jaga dengan baik-baik.
Konversasi di hadapan Kuta menyadarkanku akan satu hal: mau aku menyimpan rasa ini padanya pun, kemungkinan aku tidak akan sampai menjangkau hatinya lebih terasa masuk akal. Aku hanyalah salah satu dari lusinan orang; mungkin satu-satunya yang membuatku menonjol adalah bagaimana aku mengingatkannya pada sang kakak.
Jadi, melepasnya sekarang adalah hal yang tepat ... kurasa. Tidak ada ruginya juga bila menganggap Sam sebagai teman baik, tanpa harus ada egoku yang dominan menginginkannya untuk diri sendiri, ya kan?
"Kin, kunci nggak lupa, kan?"
Helga memastikan ketika kami meninggalkan kamar menuju lift. Waktu bebas malam ini dibatasi hingga jam 10, dan tentu saja, Helga langsung mengajakku untuk berjalan-jalan. Tentunya lagi, bersama Abra. Aku berusaha tidak mengekspetasi apa-apa kali ini.
Di lobi, Abra, Krama, Gibran, dan ... Sam duduk di sofa. Mereka lantas berdiri ketika melihat kami. Ketika aku melihat ke arah Sam, lelaki itu tersenyum menyapa.
Bagaimanapun, masih ada yang mengganjal di pikiranku. Binar mata Sam yang meredup di Kuta. Waktu itu adalah kali pertama aku menyaksikannya seperti itu, seakan-akan ada yang tengah ia sembunyikan di balik keramahan dan sikap cerianya.
Jalanan Bali yang padat mengantarkan kami ke sebuah jalan di daerah Seminyak-kalau tidak salah namanya Kayu Aya, kucuri dengar dari percakapan Krama dan Gibran. Jalan yang tak seberapa besar itu sesak oleh kendaraan, pun diapit oleh jajaran toko, restoran, dan hotel yang berlomba-lomba menarik perhatian wisatawan. Kami melangkah di pedestrian, menikmati keramaian. Atmosfer di jalan ini membuatku entah mengapa ikut-ikutan bersemangat. Senyumku seperti mudah terumbar, bahkan saat berpapasan dengan wisatawan asing. Aku seperti bisa merasakan bagaimana orang-orang di sekitarku menikmati momen-momen mereka di sini.
"Eh, gue mau es krim. Kin, lo mau nggak?" Helga berbelok masuk ke sebuah kios es krim mungil yang diterangi oleh lampu-lampu neon berwarna lembut.
Akhirnya, kami berenam keluar dari kios tersebut dengan masing-masing satu es krim di tangan.
Entah karena suhu di luar yang tidak begitu dingin atau memang sifat es krimnya, es krim milikku cepat sekali meleleh. Aku sampai harus fokus memakannya kalau tidak ingin tanganku lengket terkena tetesannya.
"Kin." Suara rendah itu datang bersamaan dengan ditariknya tali rambut di pergelangan tanganku. Siapa lagi kalau bukan Sam.
Sam menarikku hingga kini aku berada satu jalur dengannya. Sam berada di belakang. Tawa merdunya singkat menyapa telingaku.
"Lo tau nggak lo hampir nabrak bule gara-gara keasikan makan es krim?"
Aku berusaha menengok ke arahnya.
"Liat ke depan, Kinar. Lo jalan di depan gue aja, biar gue bisa jagain."
Tenggorokanku tercekat.
Kin, lo harus inget, lo mau melepas pelan-pelan, kan?
Kata-kata itu tidak ada artinya; Sam mungkin sudah berkali-kali mengucapkannya ke orang lain-ke teman gadisnya yang lain.
"Eh, Hel, Abra udah bilang belom sih kalo kita ada job nge-band lagi?"
Setelah mengunjungi beberapa toko, kami pun berakhir di sebuah kafe untuk mengistirahatkan kaki-kaki yang mulai terasa pegal.
"Hah, sumpah lo? Abra nggak bilang apa-apa, tuh."
Abra sedang memesankan pesanan kami, jadi lelaki itu tidak punya kesempatan untuk membela diri.
Gibran menyahut, "Kayaknya gara-gara postingan kafe yang tempo hari, deh, jadi rame banget yang ngomongin kita. Anak-anak kelas sepuluh juga suka nge-repost penampilan kita. Jadinya kemaren sempet ada kafe lain yang nawarin buat manggung."
"Salah satu faktornya karena kita cakep-cakep nggak sih?" Krama menimbrung.
"Yeeee. Elu mah. Eh, tapi bener, sih. Gue akui muka kita mayan layak dijual. Apalagi kita punya Sam."
"Nggak usah geret-geret gue. Gue nggak ada ngomong apa-apa daritadi," tukas Sam.
"Apa sih, Sam, sensi amat. Eh, Sam, tapi gue penasaran. Lo sama Jemima gimana, sih? Kasian tau gue liat usaha dia buat deketin lo. Kalo gue jadi lo, gue pasti udah luluh dari kapan tahu. Mana ada sih yang berani nolak cewek kayak dia."
Tanpa kusadari, aku memainkan kuku jari. Aku ingin mendengar jawabannya.
Sam menghela napas. "Nggak gimana-gimana," sahutnya. "Gue anggep dia kayak temen-temen gue yang lain, nggak lebih."
"Tapi, lo kurang tegas ngga sih, Sam?" Helga bertanya. "Maksud gue, lo kaya iya-iya aja mau dia bersikap kayak gimana sama lo. Sepenglihatan gue ya."
Sam mengangkat bahu. "Gue udah ngelurusin semua sama dia dan gue nggak berhak melarang dia buat bersikap kayak yang kalian liat selama ini."
Senyumku masam; keputusanku makin bulat. Apabila Jemima yang seperti itu tidak berarti spesial baginya, apalagi aku yang tidak ada apa-apanya?
Maka dari itu, berusahalah, Kinar, karena kenyataan sudah ada di depan mata.
⁺೨*˚·
notes:
terharu banget bacain komen kalian huhuhu makasih ya yang udah jawab sekali lagiii!♡♡♡♡♡
semarang, 15 mei 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
twinkles.
Short StoryHanya tentang seorang Kinar yang ingin menyimpan kelap-kelip mata Sam. Kilanara Kinar mengagumi nyala hangat dari seorang Rasi Samudra, laki-laki super ramah yang tawanya menular dan disukai semua orang. Menyimpan rasa sukanya sendiri, Kinar dibawa...