4 | pertanyaan pertama

2.1K 454 91
                                    

⟦ 4 | pertanyaan pertama ⟧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

4 | pertanyaan pertama

⁺೨*˚·

Sumpah, kalau ada penghargaan teman paling mengesalkan, Rinjani adalah pemenang utamanya.

Rinjani adalah dalang di balik kepanikanku yang jika sampai saat ini terpikirkan kembali terasa sangat bodoh dan sia-sia. Ulah Rinjani membuatku harus berdebar menghadapi koridor MIPA 4 dan debar itu masih awet bahkan sampai aku kembali ke kelas—siapa lagi kalau bukan karena Rasi Samudra. 

Bagaimana tidak kesal, sih? Pesan Rinjani membikinku panik setengah mati, kukira ada sesuatu yang begitu genting mengenai klub kami, tapi nyatanya ketika aku meninggalkan Sam di luar dan menemukan sosok Rinjani tengah duduk di depan komputer, aku tahu ada yang tidak beres.

Kecurigaanku lantas terbukti.

"Thank God lo cepet dateng, Kin! Bantuin gue dong, gue nggak ngerti sumpah pake Illustrator gini, poster gue belum selesai, dikumpulnya habis istirahat ini! Nangis nggak sih lo kalo jadi gue?"

Makasih, Rinjani.

Jantungku serasa merosot ke perut menyadari apa yang harus kulalui demi mencapai ruangan klub waktu itu tidak sebanding dengan urgensi pribadinya.

"Kin, lo masih marah sama gue?"

Kini di tengah rapat mengenai tim yang akan maju ke perlombaan jurnalistik tingkat SMA, Rinjani memajukan badannya ke arahku. Bu Frida, pembimbing kami, sedang izin mengangkat telepon di luar, jadilah aku dan keempat temanku yang lain, termasuk Rinjani, sekalian istirahat sejenak.

Aku tidak membalas. Sibuk menyortir lembar-lembar artikel yang sempat didiskusikan barusan. 

"Kinaaaar."

"Menurut lo aja gimana," balasku.

"Kan gue udah bilang, gue kepepet banget. Cuma lo yang bisa gue mintai tolong, kan lo temen deket gue di sini. Sori, sori, sori. Nggak lagi-lagi, deh, janji."

Aku menatapnya malas. "Maksud gue, kenapa lo nggak to the point aja sih waktu nge-LINE? Kan gue ngiranya ada masalah atau apa gitu sama Gadamedia," aku memprotes, menyebut nama majalah Smagada.

Rinjani terdiam, mati kutu. "Ya … itu … soalnya, kan … semua juga tahu lo paling menentang keras rapat waktu lagi jam sekolah karena nggak mau ganggu pelajaran, kan. Terus lo juga paling anti keluar kelas. Jadinya lo nggak mungkin mau kalo gue suruh ke sini cuma buat bantuin gue. Ya gue nggak ada pilihan lain, Kin. Namanya juga kepepet."

Mendengar itu semua, aku tidak bisa berkata-kata. Aku memutuskan untuk bungkam saja.

Tapi Rinjani sepertinya belum puas merecokiku. "Kin, tapi lo kenal Sam dari mana, deh? Bukannya lo nggak sekelas sama dia?"

Aku nyaris tersedak. Kenapa tiba-tiba Sam?

"Gue jadi penasaran si Sam jangan-jangan kenal sama semua anak di angkatan kita, termasuk yang kayak lo gini," gumam Rinjani. "Humble banget tuh anak. Lo tau nggak sih anak-anak kelas 10 katanya sampe ada yang bikin semacam fanclub gitu buat Sam? Saking mengayominya dia? Kocak, tapi masuk akal juga sih, siapa coba yang nggak bakal suka sama Sam?"

Terlalu banyak informasi yang keluar dari mulut Rinjani, membuatku diburu ketertinggalan. 

Siapa coba yang nggak bakal suka sama Sam? 

Sebuah ingatan menyembul. Momen ketika mataku kembali menemukan Sam, tengah memainkan pick gitar di sela-sela jemarinya—makin memupuk rasa bersalah karena telah merepotkan dirinya hari itu gara-gara Rinjani. Lelaki itu segera menyadari keberadaanku. Mendongak, bibirnya melekukkan senyum. "Udah?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Ya udah, yuk," ajaknya seraya berdiri.

Aku sengaja mengatur langkahku lebih lambat darinya, bermaksud supaya aku beberapa jengkal berada di belakangnya. Bersampingan dengannya hanya akan membikin langkahku payah termakan gugup. Tak kusangka ia menyadarinya; tungkainya berhenti sejenak.

Tatapnya terpaku padaku. "Kin, lo nggak nyaman sama gue, ya?"

Kontan aku ber-hah pelan, tidak mengekspetasi pertanyaan semacam itu.

"Nggak"—sebelah tangannya menggaruk telinga, kemudian berpindah berkacak pinggang—"gue penasaran aja, ini emang jalan lo yang pelan atau lo nggak mau deket-deket gue?"

Ya ampun.

Tawa canggung keluar dari mulutku. Pikiranku sibuk mencari alasan. “Nggak gitu ... rok gue bikin gue nggak bisa jalan cepet-cepet, mana lo jalannya lebar-lebar juga…."

Masuk akal, kan?

"Ah, iya juga ya. Ya udah, gue pelan-pelan, deh, jalannya."

Lantas sepertinya aku tahu.

Pertanyaan retoris Rinjani sepertinya menemukan segelintir validasi di kepalaku.

"Kinar."

Tapak kakiku sudah mendarat di anak tangga pertama ketika Sam memanggil namaku. Mau tak mau aku menengok ke belakang.

Sam tersenyum, tak selebar yang kamu bayangkan, tapi aku menyaksikan bagaimana binar di matanya seolah ikut berbicara mendukung kurva di bibirnya itu.

"Lain kali nggak usah sungkan sama gue kalo butuh bantuan lagi, oke?"

⁺೨*˚·

notes:

kayanya minggu depan gabisa update, jadi, sekarang aja deh. jangan kelewatan part 3-nya wkwk!!

sejauh ini gimana pendapat kaliaan? ngebosenin gaa? :(

yogyakarta, 10 mei 2020.

twinkles.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang