9 | jarak

1.6K 394 42
                                    

⟦ 9 | jarak ⟧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

9 | jarak

⁺೨*˚·

Sam punya aroma segar seperti sehabis turunnya hujan; aroma itu bercampur dengan wangi shower gel dan parfumnya. Debar dadaku masih tak karuan, bahkan selama perjalanan. Sumpah, rasanya tidak masuk akal. Terasa begitu lama aku tidak berjumpa dengannya, tapi anehnya, juga terasa familier. Apakah mungkin karena aku diam-diam sering mengunjungi laman Instagram-nya selama liburan?

Sensasi gelitik itu datang lagi.

Sesampainya di kafe tujuan, aku mengembuskan napas lega.

Sam memarkirkan motor. Aku turun.

Sam melepas helm, menyugar dan mengacak beberapa kali rambutnya sebelum merapikannya ke semula. Menyaksikan itu semua, aku hanya bisa menggigit pipi bagian dalamku kuat-kuat.

"Sini."

Tangannya terangsur ke arahku.

Aku mengedip bingung.

"Helm lo, Kin. Lo mau masuk ke kafe sambil pake helm?"

Napasku yang tertahan keluar. Rasa malu mengentak-entak melihat raut Sam yang tersenyum geli.

"Eh, iya, bentar." Dalam hati aku menggerutu. Kenapa, sih, tidak to the point saja? Aku jadi kelihatan bodohnya.

Membuka kaitan helm, aku berkali-kali bertemu pandang dengan Sam yang menanti. Sepertinya hari ini dunia sama sekali tidak memihakku karena semakin berusaha melepas kaitan helmku, aku makin frustrasi dibuatnya. Apalagi, dengan tatapan Sam. Bisa tidak, sih, lelaki itu melihat ke arah lain?

"Bisa nggak?" tanyanya.

"Bisa, kok, bentar," ucapku cepat, makin terasa seperti dikejar.

Tolong, tolong, jangan bercanda sekarang.

Dan sepertinya Sam tidak sabar. Ia tiba-tiba berdiri dari motor, mendekat ke arahku, dan tanpa aku sempat menolak, ia membungkuk sedikit demi menyejajarkan wajahnya dengan wajahku. Tahu-tahu tangannya sudah mengutak-atik kaitan helmku. Napasku tercekat menyadari wajahnya yang begitu dekat.

Momen itu sebenarnya singkat, tapi entah mengapa terasa lama. Satu-satunya harapanku adalah Sam tidak mendengar dentuman jantungku.

"Kayaknya, gue udah bilang nggak usah ragu kalo mau minta bantuan." Sam meletakkan helmku ke motornya. "Lo udah lupa, ya?"

Masih syok, aku menunduk. "Maaf."

"Lah, kok minta maaf, sih, Kin?" Sam menyeringai. "Gue 'kan jadi nggak enak. Ya udah, yuk, masuk."

*

*

Sekesal apa pun aku dengan kedatangan Helga yang tiba-tiba menjemputku, ada sekelumit diriku yang berterima kasih padanya. Datang ke kafe ini, melihat band Abra tampil setelah sekian lama, nyatanya tidak seburuk itu. Ataukah, bersyukur adalah kata yang lebih tepat?

Sam memakai kemeja garis-garis hijau kuning, hoodie-nya ia tanggalkan dan kini tersampir di punggung sofa di sebelahku. Sama seperti bagaimana aku mengingat, Sam dengan bassist-nya seolah mempunyai dunianya sendiri. Dulu ia lebih banyak menunduk, tapi kali ini sesekali ia bertukar senyum dengan mitra band-nya.

Lantas, muncul sebuah gagasan di kepalaku: bagaimana kalau Sam menyanyi di depan sana? Apakah rasanya akan sama seperti ketika aku mendengarkannya lewat speaker ponsel atau earphone?

"Sumpah, Kin, gue baru sadar," bisik Helga tiba-tiba.

"Apaan?"

"Gue baru tau banyak anak kelas sepuluh yang dateng. Sebagian pernah gue liat wajahnya di sekolah."

Aku lantas mengedarkan pandangan, yang tidak menghasilkan apa-apa karena semua wajah yang kutemukan sama sekali asing.

"Terus?"

"Masa lo nggak tau, sih? Anak-anak kelas sepuluh kan banyak yang kesengsem sama Sam, apalagi ya, lo tau-eits, baru aja mau gue omongin, orangnya dateng."

Aku mengernyit, mengikuti arah pandang Helga. Ada seorang gadis yang baru saja datang, menutup pintu kafe. Untuk satu itu, wajahnya tampak familier di kepalaku. Saat kutemukan jawabannya, ingatanku tentang hari yang lalu terulang kembali di otak.

"As always, Jemima pasti ngintilin Sam ke mana-mana."

⁺೨*˚·

notes:

:(

yogyakarta, 14 mei 2020.

twinkles.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang