24 | tuan bintang

1.6K 411 252
                                    

⟦ 24 | tuan bintang ⟧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

24 | tuan bintang

⁺೨*˚·

Kata-kata Helga tidak mau pergi dari bilik kepalaku. Mungkin ... Sam lebih nungguin lo daripada temen-temen band-nya. Tidak usah ditanya apakah jantungku baik-baik saja, apakah kupu-kupu di perutku terjaga memikirkan kemungkinan tersebut.

Aku sungguh ingin menjenguk Sam lagi, tapi, satu-satunya yang menghalangiku adalah ketidaksiapan untuk bertemu kembali dengannya setelah deretan kalimat yang ia lontarkan hari itu. Bagaimana kini aku harus menghadapinya? Menatap matanya? Mengobrol dengannya? Masih begitu segar di ingatan mengenai hari itu dan semakin sering terulang di kepala, semakin terasa tidak masuk akal.

Lamunanku kemudian pecah oleh vibrasi ponsel yang terletak di nakas sebelah tempat tidur. Meraup benda itu sebelum bersila di ranjang, aku membeliak membaca nama yang tertera di layar.

Nyatanya, Rasi Samudra seakan tidak mau membiarkanku berhenti memikirkannya barang sejemang.

Berbagai cara kulakukan untuk menenangkan diri sebelum akhirnya mengangkat panggilannya.

"Halo, Kin?"

"Hai, Sam."

"Eh, sori nelpon lo malem-malem gini. Jam 10 banget. Pasti lo mau tidur kan, ya? Kalo emang ganggu, gue telpon besok lagi aja—"

Kontan aku menggeleng meski ia tidak bisa melihatnya. "Nggak ganggu, kok, Sam," potongku buru-buru.

"Ah," Jeda. "Oke." Jeda lagi. "Hmm.... Bentar, gue jadi lupa mau ngomong apa."

Sambungan pun mendadak sunyi; tidak ada yang bicara sama sekali. Dalam detik-detik itu, ada satu pikiran yang mengganggu. Tanpa buang banyak waktu, kuputuskan untuk menyuarakannya. "Sam?"

"Kenapa, Kin?"

"Maaf ya gue belum ada jenguk lo lagi."

Selang tiga detik, kekeh renyahnya menguar. "Nggak papa, kali? Kan lo juga sibuk sekolah pasti. Nggak perlu mikirin gue, Kin, gue baik-baik aja kok di rumah sakit. Bosen dikit, sih. Dikit doang tapi. Nggak boong."

Senyum kecil terselip di bibirku. "Lo mau ngomong apa tadi? Udah inget?"

"Oh, itu, udah." Sam meloloskan napasnya pelan. "Eh ... itu ... gue tau lo jarang keluar kelas, tapi barangkali lo pernah papasan sama anak-anak. Mereka ... baik-baik aja, kan, Kin?"

Pertanyaan Sam langsung mengingatkanku akan percakapanku dengan Helga. Sekelumit diriku lega dan berselebrasi; seorang Sam tidak mungkin tidak memikirkan teman-temannya yang berarti.

"Mereka baik, Sam, lo nggak perlu khawatir."

"Aneh banget ya pertanyaan gue?" sahutnya, tertawa singkat. "Tapi dari kemarin gue nggak berhenti mikirin aja apa yang sempet lo omongin. Gue rasa ... lo bener, Kin. Mereka berhak marah dan kecewa sama gue, karena kalo keadaannya terbalik pun, gue rasa gue bakal ngerasain hal yang sama."

"Sam," panggilku pelan. Menggigiti bibir sejenak. "Gue nggak tau apa gue berhak ngomong ini, tapi ... seperti sekarang lo yang berusaha ngertiin mereka, gue yakin mereka juga berusaha buat ngertiin lo. Jadi, jangan nyalahin diri lo sendiri, ya?"

"Mm-hm. Makasih ya, udah mau gue recokin malem-malem gini."

Andai Sam tahu aku tidak keberatan sama sekali. Nyatanya gugupku sudah sirna entah sejak kapan. Sepertinya aku lupa kalau Sam selalu ahli membuat orang nyaman bersamanya.

"Kin."

"Iya?"

"Sebenernya ada satu hal lagi yang mau gue omongin."

Aku diam, menunggu.

Sam berdeham, sekali, dua kali. Lalu, "Lo masih inget 'kan waktu lo ke sini, gue ... bilang apa ke lo? Gue cuma mau lo tau kalo itu ... bener-bener yang gue rasain. Dan kalo emang lo merasa nggak nyaman dengan itu semua, bilang aja, ya? Gue bakal menjauh, atau apapun, kalo emang lo maunya begitu."

Gelenyar yang familier segera menjajah perutku, berikut dadaku yang berdentum karenanya.

Apakah seperlu itu Sam membahasnya kembali? Karena efeknya benar-benar membikinku gila. Sam tidak perlu menjauh. Sam tidak perlu khawatir apakah aku merasa tidak nyaman atau tidak sebab kenyataannya, lekuk senyum  lebar yang membentang di bibirku kali ini seratus persen hasil ulahnya.

"Sam," aku memulai, menarik napas, "gue emang nggak bilang apa-apa kemarin. Tapi yang perlu lo tau juga, nggak ada rasa nggak nyaman seperti yang lo bilang. Lo nggak perlu menjauh karena ...," tuggu, apa kata selanjutnya? "... karena gue ... sebenernya ...."

"Suka gue juga?"

Rahangku jatuh. Berikut kata-kata yang kususun susah payah. Buyar.

Astaga, Sam.

Tidak bisa ya sabar sedikit?

"... atau ... nggak?" Cicit Sam melirih dan terkesan berhati-hati.

Aku menghela napas. Tapi tak ayal tersenyum juga. "Iya, gue suka lo juga, Sam."

Selesai sudah.

Jantungku memang berpacu tak karuan, namun ada kelegaan luar biasa yang menggauli dinding-dinding benakku.

Lagian, siapa sih yang tidak akan menyukai kamu, Sam?

Detik demi detik lewat, aku seketika mengernyit menyadari nihilnya respons darinya. "Sam? Kok diem? Lo nggak papa, kan—"

"Bentar." Embusan napasnya lewat. Aku mengedip, menanti. Dan detik itu pun datang—saat Sam menelurkan sebuah kalimat yang tak kusangka akan jauh lebih berefek ketimbang perlakuan-perlakuan baik dan manisnya yang lain.

Katanya: "Berarti ... kalo gue bilang gue kangen lo sekarang, lo nggak ilfeel kan, Kin? Karena itu ... fakta yang gue rasain sekarang."

⁺೨*˚·

notes:

HHHHH GEMES BANGET.

berhenti bikin orang senyum-senyum! [pasang muka marah]

berhenti bikin orang senyum-senyum! [pasang muka marah]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

semarang, 18 mei 2020.

twinkles.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang