18 | redup

1.6K 386 71
                                    

⟦ 18 | redup ⟧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

18 | redup

⁺೨*˚·

Rasi Samudra
Gue udah di depan

Pesan itu membuatku mempercepat gerakan. Memasang kaus kaki kilat, mengambil tas, lalu meraih paperbag kecil sebelum keluar kamar. Di luar, mama dan Sam tengah berbincang. Senyumku tersemat; jenis senyum lega, senyum penuh arti yang menggambarkan kesesakan yang telah hilang.

Jujur, konversasiku bersama mama membuka sedikit pikiranku.

Aku lupa bahwa sosok mama adalah sosok terdekatku di bumi; seperti yang mama bilang, mungkin mama akan langsung mengerti perubahan suasana hatiku sekadar dari mimik. Meski terkadang merasa kesepian sebagai anak tunggal, rasanya aku harus bersyukur banyak mempunyai orangtua yang begitu perhatian dan mampu memahamiku luar dalam.

Jadi, aku putuskan untuk mencoba memeliharanya, alih-alih melepasnya—perasaanku terhadap Rasi Samudra. Berbeda dengan mama, kupikir ini bukan soal kepantasan, melainkan ketulusan. Aku ingin belajar sebagaimana baiknya Sam ke orang-orang di sekitarnya; aku ingin menyukai Sam dengan sewajarnya, tulus, tanpa harapan apa-apa. Aku ingin menyimpan rasa ini sebebas-bebasnya tanpa merasa perlu harus mematok tujuan apa-apa.

Apapun yang dibiarkan mengalir akan menemukan muaranya sendiri, begitu kan?

Tidak akan mudah, memang, tapi siapa sih yang sebenarnya tahu perasaan akan berkembang bagaimana nantinya? Tidak dengan pemiliknya sendiri. Satu-satunya jalan, ya, mencoba.

"Titip, Kinar ya, Sam."

"Siap, Tante."

Mama masuk ke rumah setelah lebih dulu mengedip ke arahku.

Kemudian netra Sam dan milikku saling menemukan. Desiran itu muncul lagi, kali ini terasa jauh lebih hangat dan aku menikmatinya.

"Nih." Aku mengulurkan paperbag ke hadapannya.

"Apa tuh?"

"Kado ulang tahun."

Sam ragu mengambil paperbag itu. Ia mengintip isinya dan terperangah. "Lo serius ngasih gue kaktus?" Keningnya terlipat dalam. "Kalo dia mati nggak nyampe seminggu sama gue gimana?"

Aku sontak tertawa. Lepas. "Nggak, lah. Makanya dirawat baik-baik, Sam."

Sam sempat bergeming, menatapku sambil berkedip pelan. Aku jadi risih karena lelaki itu tidak bersuara lagi.

"Kenapa, Sam?"

"Ini perasaan gue aja, atau lo beda hari ini? Kayak ..." Sam berpikir. "Lebih luwes?"

Aku menaikkan alis.

"In a good way, kok, tapi. Gue suka liatnya." Senyumnya tersimpul. "Makasih ya kadonya. Semoga bisa tahan lama sama gue."

Tak kupungkiri, sudut bibirku betah menggantung ke atas.

*

*

*

"Ati-ati, ya! Thanks panggungnya hari ini!"

"Moga ini bukan yang terakhir!"

"HAHAHAHA! AMIN PALING SERIUS SELURUH DUNIA!"

"Duluan ya, gengs!"

Kami saling berdadah ria hingga tersisa aku dan Sam di pekarangan kafe. Ingat tawaran manggung yang sempat dibahas Gibran saat di Bali? Baru saja, mereka tampil dengan memukau seperti biasanya. Kalau boleh jujur aku agak terkejut melihat kafe, yang saat aku datang, sudah dijejali pelanggan. Entah memang kafe ini selalu ramai atau karena band Abra yang hendak tampil?

Sepertinya opsi kedua agak terlalu percaya diri, tapi kalau memang yang pertamalah yang benar, sepatutnya aku senang karena makin banyak lagi yang akan mengenal band mereka.

"Eh, bentar, Kin, gue angkat telepon dulu, ya."

Sam agak menjauh dariku. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikannya, namun ketika Sam mulai berkacak pinggang, menundukkan kepala, memejam, berkali-kali mengembuskan napas kasar, aku tidak bisa beralih darinya.

Ada apa?

Aku tetap berusaha santai menunggu di tempat.

Sempat kulihat rahang Sam mengeras ketika sambungan itu usai. Ia memejam lagi, jakunnya bergerak ketika ia mereguk ludah.

Begitu Sam kembali ke titikku berdiri, aku memalingkan muka.

"Kin."

Ada yang salah dari suaranya. Biasanya, nada vokalnya akan seringan kertas tipis, bercampur dengan keceriaan dan kelembutan. Tapi yang barusan kudengar terselip sepercik usaha untuk menyembunyikan ... amarah? Frustrasi? Sedih? Ataukah campuran kesemuanya?

Iris cokelatnya lurus menatapku. Seketika aku terlempar kembali ke sebuah masa di mana kami berada di Kuta, di hadapan laut yang berkelap-kelip keemasan.

"Maaf, Kin ... tapi ... lo pulang sendiri dulu hari ini, nggak papa?"

Sam meredup. Sam yang biasanya cemerlang, di depanku sekarang, seperti berusaha keras untuk tidak pecah dan berhambur.

Aku mengangguk, tersenyum—berharap begitu Sam tahu aku tidak keberatan. Lelaki itu mengembuskan napas berat, kemudian berbalik meninggalkanku. Langkahnya tergesa.

"Sam."

Ia menoleh.

"Hati-hati, ya?"

Untuk apa pun yang mau kamu hadapi sekarang.

⁺೨*˚·

notes:

sebelum manggung (dari sudut pandang kilanara kinar)

sedih ga kalo aku bilang kita bentar lagi bakal pisah sama sam kinar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

sedih ga kalo aku bilang kita bentar lagi bakal pisah sama sam kinar... pokoknya, siapin hati, oke?♡

btw aneh bgt dari kemaren nulis yogyakarta tapi sekarang semarang :"( kalian ada yang tinggal di semarang nggak...

semarang, 16 mei 2020.

twinkles.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang