12 | melagu ragu

1.6K 400 69
                                    

⟦ 12 | melagu ragu ⟧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

12 | melagu ragu

⁺೨*˚·

"Kinaaaaaar! Gue kangen banget sama lo! Kenapa sih lo sering nggak bales chat gue!?"

Helga tahu-tahu sudah berjalan di sampingku. Setelah seminggu berlalu sejak tahun baru, rutinitas sekolahku akhirnya kembali seperti semula. Semester dua kelas sebelas. Benar-benar secepat itu, ya, waktu berlalu?

"Bukannya lo yang minta gue buat jangan chat lo lagi?" balasku.

Helga mengalungkan lengannya ke pundakku. "Lo tuh bisa bedain nggak mana yang bercanda mana yang enggak?"

Aku hanya mengangkat bahu.

"Btw, gue nggak sabar deh ke Bali! Mau cepetin waktu deh gue rasanya." Helga manyun. Ia menoleh kepadaku. "Itu apaan, Kin?" Helga melongok ke arah paperbag yang menggantung di tangan kananku.

Aku sedikit menyembunyikannya dari pandangan Helga. "Bukan makanan kayak yang lo pikirin, kok."

"Gue nggak bilang-bilang apa, loh!"

"Tapi gue tau lo ngarep begitu, kan?"

Helga melirikku sinis. "Nggak salah sih lo. Gue kangen puding labu buatan nyokap lo, deh. Yang pernah lo bawa waktu ujian. Selera gue banget alias enak pars."

"Gara-gara lo anak-anak yang lain nggak keba-"

"Kinar, Helga."

Sontak kami memutar kepala.

"Buset, Sam, lo tumben dateng ke sekolah sepagi ini?"

Tanpa sadar, genggamanku pada tali paperbag mengerat. Kusembunyikan benda itu supaya lelaki yang melangkah ke arah kami itu tidak melihatnya.

*

*

Kelasku mendapat jatah mata pelajaran olahraga di hari Senin. Beberapa temanku mengeluh soal ini, apalagi peletakannya benar-benar di awal sampai istirahat pertama. Jadilah usai upacara kami sibuk berganti baju dan biasanya setelah pelajaran olahraga suasana kelas tidak akan kondusif karena kelelahan. Aku juga terkadang mengeluh, tapi hari Senin ini begitu berbeda. Aku mendadak bersyukur karena jadwalku tersebut.

Ketika pelajaran olahraga usai tiga puluh menit lebih awal, aku lantas berganti seragam. Kebanyakan temanku sudah mendinginkan diri di kelas, beberapa mengeluyur ke kantin. Aku menyusuri koridor yang sepi, hendak kembali ke kelas. Dari jauh, siluet seseorang yang duduk di bangku di depan kelas MIPA 4 terlihat.

Sam?

Kala ia menyadari keberadaanku, senyumnya timbul. "Abis pelajaran olahraga, ya?" tanyanya.

Aku mengangguk. Melihat sekeliling, juga kelasnya yang kosong, aku mengernyit.

"Lagi pada di lab kimia. Gue lupa bawa jas lab, jadinya nggak boleh ikutan kelas," jelasnya sebelum aku bertanya. Petikan gitar hasil ulahnya mengisi keheningan di antara kami.

Menyadari keadaan yang terasa tepat, aku teringat sesuatu. "Sam, lo tunggu di sini, ya? Jangan ke mana-mana."

Tanpa menunggu persetujuannya, aku berlari menaiki tangga. Mengambil sesuatu di bawah mejaku. Lalu kembali berlari ke kelasnya, seolah-olah kalau tidak begitu, Sam akan hilang kapan saja.

"Lo perlu banget lari-lari?" Mata Sam sedikit menyipit begitu ia tersenyum heran.

Aku masih berusaha mengatur napas ketika menyorongkan sebuah paperbag ke arahnya. "Hoodie lo. Makasih, ya."

"Gue kira apaan, Kin. Sama-sama. Lo mau langsung balik kelas? Duduk dulu sini, Kin, temenin gue."

Lantas dilema datang, tapi pertanyaan Sam selanjutnya membuatku tidak punya pilihan lain selain duduk di sampingnya. Tentu saja, dengan jarak yang tidak akan membikin jantungku berulah.

"Lo suka lagu apa?" Ia melirikku sekilas. "Atau artis yang lo suka dengerin, deh?"

"Hm ... Lauv?"

Aku menangkap senyum kecil sebelum jari-jari Sam lincah memetik senar. Ia memainkan lagu yang aku tahu pasti adalah milik Lauv: The Other. Sesekali pandangan kami bertemu, lalu begitu pandangan kami lepas, aku mencuri detik-detik itu untuk mengembangkan senyum.

"Kalo lagu ini lo tau, nggak?"

Aku mendengarkan dengan saksama. Lagu yang dimainkan selanjutnya terdengar familier, tapi aku tidak bisa menemukan judulnya.

"Cause we ... could be ... just like story from the movies. You ... next to me all night, just like how it's supposed to be." Senyumnya tersimpul. "Once Upon A Time, Jeff Bernat."

Jadi, begini rasanya. Mendengarkannya bernyanyi secara langsung membangunkan kupu-kupu lebih banyak lagi dari kenyataan bahwa aku duduk bersebelahan dengannya, memperhatikannya memainkan gitar.

"Sam, lo ngapain aja-eh, halo, bentar ... muka lo nggak asing. Kinar, kan?" Tahu-tahu seorang gadis sudah berdiri di hadapan kami. Aku mengingatnya. Jemima.

Senyumku kikuk menyapanya.

Jemima kembali beralih ke Sam. "Lo tuh ya, hari pertama sekolah udah nggak ikut kelas." Sam tergelak saja menanggapinya. Aku cuma mengamati, hingga mataku sedikit melebar ketika tangan gadis itu mengacak-acak rambut Sam tanpa beban. "Ih, makanya lo tuh jangan keasikan begadang main game, nggak ada persiapan kan lo."

"Iya, iya, Nyonya. Bawel amat, nyokap gue aja nggak ada protes."

Begitu saja, aku merasa perlahan tersingkirkan dari lingkaran tak kasatmata yang terbentuk di antara kami. Perasaan itu datang lagi, persis saat di kafe. Perasaan ... seperti menyayangkan bahwa bukan akulah yang bertindak selepas itu di hadapan Sam?

"Sam, gue balik ke kelas, ya."

"Eh, iya, Kin. Thanks ya udah nemenin."

"Dah, Kinar!" Jemima melambaikan tangan.

Kalau interpretasiku benar, seharusnya dari awal aku sadar bahwa perasaan suka hampir selalu satu paket dengan harapan yang rentan terpatahkan.

⁺೨*˚·

notes:

semangat kinar :(

yogyakarta, 15 mei 2020.

twinkles.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang