3 | perkenalan perdana

2.2K 489 83
                                    

⟦ 3 | perkenalan perdana ⟧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

3 | perkenalan perdana

⁺೨*˚·

Sebuah pesan datang dari Rinjani—kawan klub jurnalistik—yang menyuruhku untuk datang segera ke ruang klub kami ketika aku tengah berjalan menuju kamar mandi. Aku sampai harus berhenti di depan kelas orang untuk menganalisis pesannya yang janggal. Keningku berkerut.

Ketika kutanya lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi, ia cuma memintaku untuk cepat-cepat datang.

"Kin, buruan! Urgent banget! Gue tunggu, ya!"

Rinjani bahkan tidak membiarkanku mengeluarkan suara ketika aku meneleponnya.

"Ada apaan, sih," gumamku.

Lama-lama khawatir juga, aku pun urung ke kamar mandi. 

Langkahku tergesa menuju ruang klub. Tapi lantas berhenti di tengah-tengah anak tangga. Astaga, aku lupa satu hal. Melongokkan kepala ke bawah, aku bisa melihat gerombolan lelaki itu sedang menikmati waktu istirahat seperti biasanya. Aku mendesah.

Aku tidak mungkin melewati mereka sendirian, bukan? Haruskah aku meminta Helga menemani?

Berpikir cepat, sepertinya hal itu yang bisa kulakukan sekarang. Memutar tumit untuk balik menaiki tangga, aku nyaris limbung ke belakang saking terkejutnya mendapati seseorang telah berdiri di sana. Peganganku mengerat.

Beberapa detik berlalu dan satu-satunya suara yang bisa kudengar adalah detak jantungku sendiri.

"Kinar? Nggak jadi turun?"

Coba tebak siapa yang berdiri di depanku sekarang?

Sam.

Ia melongokkan kepalanya ke bawah, persis seperti yang kulakukan tadi. 

"Lo nggak nyaman ya sama ... mereka?" tembak Sam langsung. 

Aku bergeming.

"Mau gue temenin? Sekalian mau turun nih gue. Lo lagi buru-buru, kan?"

"E-eh ... gue minta temenin Helga aja."

Sam tersenyum. "Kan ada gue ini? Ngapain capek-capek balik lagi?" Sam turun mendahuluiku. Ia meyakinkanku dengan kedikan kepalanya. "Ayo."

Menggigit bibir, aku pun turun, mengekorinya. Sam sempat menyapa teman-temannya, kemudian setelah kami sudah melewati gerombolan itu, Sam menoleh padaku, menyamakan langkah kami.

"Ganggu banget ya, Kin?" tanyanya.

Aku meliriknya sekilas. Tidak tahu harus menjawab apa. "Nggak banget, kok." Ha.

"Sori, ya. Nanti gue bilang mereka deh biar nangkringnya lebih sopanan dan nggak bikin orang-orang takut mau lewat."

"Eh, nggak usah, gue jadi nggak enak. Kan hak mereka juga...."

Tanpa sadar kami sudah tiba di depan ruang jurnalistik. Baru aku sadar kalau aku  membiarkannya mengantarku hingga tujuan. Yang bener aja, sih, Kinar, lo bisa lebih ngerepotin lagi, nggak!?

"Lo bakal lama, nggak?" 

Aku tersentak. "Lama gimana? Oh, itu, maksudnya? Nggak ... tahu, sih," jawabku bingung.

Sam mengempit bibirnya, seperti menahan tawa karena jawabanku yang tidak jelas. Matanya mengatakan segalanya. "Ya udah, gue tungguin, ya."

Apa? 

"Tungguin? Tungguin siapa ... oh," aku ingin menampar diriku saat ini juga, "astaga. Nggak perlu, lo balik aja, nggak papa."

Di luar dugaan, Sam mengulurkan tangan kanannya. Aku memandangnya heran.

"Rasi Samudra."

Aku mengerjap tidak paham.

"Gue ngajak lo kenalan ini, Kinar," katanya sambil tersenyum lebar, terkekeh ujung-ujungnya. (Dan, sumpah, aku hampir tertular untuk ikut tertawa juga). Tangannya meraih tangan kananku dan kami pun bersalaman. "Panggil aja Sam, biar simpel." Begitu tautan tangan kami lepas, ia menambahkan, "Nah, sekarang udah kenal, kan? Nggak perlu nggak enakan sama gue. Gue tunggu di situ ya, Kin." Arah pandangannya tertuju pada bangku di sebelah pintu masuk ruang klub.

Sempat kehilangan akal sejenak, aku pun segera masuk ke ruang klub.

Menurutmu, apakah pikiranku bisa tenang dengan kenyataan bahwa di luar sana ada seorang Rasi Samudra yang sukarela menungguiku? Karena rasanya tidak masuk akal sama sekali.

⁺೨*˚·

yogyakarta, 10 mei 2020.

twinkles.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang