14 | binar kuta

1.5K 394 127
                                    

⟦ 14 | binar kuta ⟧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

14 | binar kuta

⁺೨*˚·

Agenda terakhir hari kedua di Bali adalah pergi ke Pantai Kuta dan menghabiskan sore di sana. Wali kelas sudah membagi kami menjadi beberapa kelompok untuk menaiki angkot khusus menuju pantai. Seumur-umur, aku belum pernah pergi ke Bali. Nyatanya, Bali sungguhlah menakjubkan. Langit Bali sangat cerah dan penuh awan-awan gemuk yang berjejer rapi. Aku tidak tahu apakah Bali memang selalu begini, tapi aku bersyukur dapat menyaksikan itu semua.

Tiba di Pantai Kuta, Helga langsung mencari Abra. Aku mau tidak mau mengikutinya karena ia satu-satunya teman dekatku di kelas. Di Bali ini, Helga dan aku seperti tidak terpisahkan. Kami pun sekamar di hotel.

Helga dan Abra langsung sibuk berfoto-foto di pesisir, mendekat ke air. Melempar gurau, memercikkan air laut, berkejaran dengan ombak. Aku cuma menonton mereka dari jarak jauh, sesekali berjalan-jalan untuk mencari sudut pengambilan gambar yang bagus.

Aku sibuk memilah-milah foto ketika tanganku ditarik ke sisi kiri.

Ah, tidak. Lebih tepatnya, seseorang mengaitkan jarinya pada tali rambut yang kulingkarkan pada pergelangan tanganku dan menariknya cukup kencang.

Mendongak, menemukan mata Sam membuatku terkejut.

"Cowok-cowok itu daritadi ngeliatin elo, Kin." Sam mengarahkan pandangannya pada tiga lelaki yang berdiri beberapa langkah di depanku. "Untung gue liat lo, kalo nggak, mungkin mereka udah catcalling lo waktu jalan dari belakang lo, atau yang lebih parah-nggak tau deh, nggak bisa bayangin gue."

Aku melihat jarinya yang masih terkait di tali rambutku.

Meneguk ludah, perlahan aku menjauhkan tanganku darinya. "Makasih, Sam."

"Saaam! Lo ngapain, sih? Gue nyariin, tau nggak?"

Gadis itu lagi.

Jemima berlari kecil-kecil ke arah kami, lalu langsung mengalungkan lengannya ke lengan Sam. Anehnya, aku tidak lagi terkejut kali ini. "Mau jagung bakar, nggak, Sam?"

"Boleh."

"Ya udah, yuk."

"Nanti aja boleh, nggak, Jem? Gue lagi mau di sini."

Aku tidak memperhatikan mereka lagi. Tatapanku kulempar sejauh mungkin ke Kuta yang sedang berdansa dengan bias keemasan sinar matahari.

"Ya udah, lo tunggu sini, nanti gue bawa jagungnya ke sini, oke?"

Jemima pun pergi. Dan untuk pertama kalinya, aku bertanya-tanya kenapa Sam tidak mengikuti gadis itu saja. Lantaran aku mendadak gelisah dengan keheningan di antara kami. Kehadiran Sam dan juga gadis yang barusan pergi mengingatkanku akan harapan egois yang berusaha aku kubur jauh-jauh.

Bisa tidak sih aku menyukainya tanpa harus merasakan perasaan tidak enak ketika melihatnya dengan gadis lain?

Tidak mungkinkah kalau aku menyukainya dengan biasa-biasa saja?

Semakin beranjaknya hari, matahari di ujung sana perlahan-lahan tergelincir ke bawah. Warna langit Kuta seketika menghadirkan gradasi yang amat cantik. Oranye, merah, kuning, ungu. Titik-titik cahaya yang menyala-nyala di permukaan air di kejauhan sana mengingatkanku akan satu hal.

Aku menoleh ke arah Sam yang tengah memejamkan mata.

Gue boleh suka lo, nggak, sih, Sam?

"Gue jadi inget kakak gue, deh," katanya tiba-tiba. Pelupuk matanya terbuka.

Kemudian aku dilanda kebingungan.

Bibir Sam tersungging, tapi aku justru merasakan hal berbeda di kedua netranya. Seperti, binar yang biasa menggantung di sana tiba-tiba meredup begitu saja.

"Gue merasa nggak adil menikmati keindahan ini sendirian. Sebelum gue berangkat, kakak gue cerewet banget cerita soal Bali, ngalahin bli-bli tour guide. Dia pamer soal betapa menakjubkannya Bali, seolah-olah pernah tinggal di sini buat waktu yang lama. Kayaknya dia ketagihan mau ke sini lagi, terus iri sama gue." Senyumnya lewat. "Dia lagi apa, ya, sekarang?"

Benakku menebak-nebak.

Sam menoleh padaku. "Kin, lo tau nggak? Kadang, lo mengingatkan gue sama kakak gue. Nggak bisa minta tolong dengan tepat, clumsy parah, selalu keliatan berusaha baik-baik aja, bikin gue frustrasi sendiri."

Seharusnya tidak seperti ini.

Ke mana binar-binar itu, Sam? Di mana kamu menyembunyikannya?

"Makanya, buat yang terakhir kali, gue harap, lo bisa nganggep gue sebagai temen biasa. Nggak sungkan buat minta tolong ke gue, kayak gimana lo bebas bersikap ke Helga. Boleh, Kin?"

Tatapan Sam menanti, tapi aku mengalihkan perhatian ke depan. Sam dengan hoodie birunya yang sudah sangat familier bagiku membuatku berusaha menjamah sesuatu dengan mata tertutup.

Aku menoleh ke arahnya lagi, tapi langit Kuta memang terlalu ajaib untuk diabaikan. Tidak ada binar lagi di matanya. Mendadak aku ingin menyimpan kelap-kelip Kuta, supaya ketika milik Sam meredup, aku bisa mengembalikan nyalanya.

Sepertinya, aku tahu bagaimana harus menata hati sekarang.

⁺೨*˚·

notes:

merasa harus nyempilin foto ini.

mau tau dong, sejauh ini gimana twinkles menurut kaliaaan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

mau tau dong, sejauh ini gimana twinkles menurut kaliaaan?

semarang, 15 mei 2020.

twinkles.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang