⟦ 22 | berita dunia ⟧
⁺೨*˚·
"Apa sih Sam yang sebenernya terjadi?" Suara Abra yang sarat akan frustrasi menggema di ruang rawat Sam. "Kenapa lo bisa sampe dipukulin? Siapa sih mereka? Bukannya lo nggak ada pernah bikin marah orang-orang? Gimana ceritanya coba kalo nggak ada yang liat lo terus nolong lo?"
Wajah Sam ... tidak sebegitu lecet. Luka yang lebih dulu ia dapat tempo hari masih membekas, ditambah luka baru di beberapa tempat. Tangan kirinya dibebat, disangga ke lehernya. Pasti ada yang lebih parah dari itu semua sampai-sampai ia harus terbujur di ranjang rumah sakit, kan?
"Lo nggak pernah cerita apa-apa, terus lo tiba-tiba kayak gini. Lo anggep gue apa sih, Sam? Gue merasa nggak berguna tau, nggak, jadi temen lo."
"Abra, udah." Helga menyentuh lengan Abra, berusaha menenangkan lelaki itu.
Sam, terduduk di ranjangnya, masih sempat tersenyum. "Sori, Bra. Gue cuma mikir kalo masalah ini nggak harus lo-lo semua tau. Lagian, lo liat, gue nggak papa, kan?"
Abra mendecak keras. "Nggak paham gue sama lo. Masih sempet-sempetnya ya lo cengengesan?"
Tak ada yang menyangka bahwa Abra akan berbalik dan keluar ruangan. Helga gelagapan. Ia menyusul pacarnya sebelum lebih dulu bertukar tatap penuh arti denganku.
Aku memejamkan mata. Menetralisir gemuruh yang ada.
"Kin."
Mulas langsung menyerang perutku.
"HP lo ... mana?"
"Kenapa ...?"
Sam mengulurkan telapaknya.
Begitu saja, aku menurutinya. Merogoh saku. Mendekat, kuletakkan ponselku di tangannya.
Entah apa yang ia lakukan dengan ponselku, yang pasti tak lama kemudian, Sam mengembalikannya.
Sekilas, mataku menangkap layar ponsel yang menampakkan sebuah playlist Spotify berjudul kin's.
"Itu," Sam memulai, "kado dari gue. Maaf ya gue nggak bisa ikut ngerayain ultah lo." Sam nyengir, meski tak selebar biasanya. "Sekarang, kita impas, ya? Ngasih kadonya sama-sama telat."
Aku terenyak menyaksikannya. Sepertinya aku tahu mengapa Abra lepas kontrol hingga keluar ruangan barusan. "Sam, nggak lucu," tukasku.
"Lo ... marah?"
Aku menghela napas. Yang benar saja, Sam? "Gue nggak marah. Tapi mungkin, Abra, Gibran, Krama, marah. Bayangin mereka hampir selalu sama lo tapi sama sekali nggak tau apa-apa dan tiba-tiba lo kayak gini?"
"Gue cuma nggak mau beban gue jadi beban mereka juga, Kin."
"Sam, kalian tuh—"
"Kin, tapi apa lo nggak kayak mereka?" Pertnyaan itu keluar saat pandangannya menunduk. Ketika Sam menengadah, tatapannya lurus menghantam netraku. Ada yang berkelebat di kedua maniknya saat Sam melanjutkan, "Lo bilang lo nggak marah, berarti lo nggak penasaran apa yang terjadi sama gue?"
Aku mengerjap. "Sam, nggak seperti—"
"Kalo gitu tanya gue," ujar Sam. Apa pun yang berusaha Sam kirimkan melalui sorot matanya, aku gagal mengartikannya. "Kenapa, lo nggak pernah tanya apa-apa ke gue kayak orang-orang? Gue mau lo penasaran kayak yang lain, Kin. Tanya gue sebanyak yang lo mau, gue bakal jawab semuanya sekarang juga."
Sam menunduk. Sementara aku tergagu.
Apa, sih, maksud kamu, Sam?
"Helga bilang gue terlalu baik sama semua cewek, sampe mungkin bisa bikin mereka salah paham. Tapi gue takut, Kin, gue nggak mau jadi cowok bejat kayak mantan kakak gue. Kak Mala... Cowok itu bikin Kak Mala menderita dan ketika dia udah pulih, cowok itu main dateng lagi, ganggu Kak Mala dengan seenaknya. Gue bahkan nggak peduli mau sebabak belur apa gue karena ngelawan cowok itu, yang penting bukan Kak Mala yang balik disakitin lagi. Makanya," Sam terengah, mengambil napas, "makanya gue berusaha buat baik sama semua orang, terutama temen-temen cewek gue, karena gue harap dunia bisa balas itu semua dengan melindungi Kak Mala, kakak gue satu-satunya. Apa gue ... salah?"
Binar itu lenyap. Tenggelam oleh selapis air yang mengambang di kedua matanya.
Dan aku tahu aku telah menemukan jawaban atas rahasianya di Kuta.
Aku menggigit bibir. Tidak tahu bahwa Sam akan membeberkan informasi itu begitu saja. "Sam.... Lo nggak salah. Lo cuma berusaha jadi adek yang baik buat kakak lo dan temen yang baik buat temen-temen lo. Gitu, kan?"
Setelah itu, geming menjadi satu-satunya pengendali. Sam mengusap wajahnya kasar. Lalu meringis panjang selanjutnya, lupa kalau beberapa luka masih basah.
Panik lantas menyergapku. "Sam, astaga, kok bisa, sih? Lagian kenapa lo nyentuh muka? Lo lupa luka lo masih banyak yang belum kering? Sakit, Sam? Perlu gue panggilin—"
"Kin."
Sam menangkap tanganku sebelum sempat memencet bel di sebelah ranjangnya.
Netra almonnya menatapku. Kalimat berikutnya menjadi tabuhan paling kencang yang mengentak jantungku.
"Lo di sini aja udah cukup."
Sam mengatakannya seringan bagaimana kedua matanya mengedip.
"Kinar, denger. Gue cuma mau ngomong sekali aja, oke? Mungkin, gue emang baik ke semua cewek, tapi gue tau batasannya. Dan gue nggak tau tepatnya sejak kapan, apa sewaktu gue main nyusup ke acara kompleks lo? Atau malah waktu gue pertama kali liat lo kebingungan di tangga? Makin ketemu lo, makin bikin gue sadar kalo ada batasan yang gue langgar kalo itu menyangkut lo ... seakan-akan gue putus asa buat bikin lo nyaman, buat bikin gue ... makin deket sama lo."
Ia melirikku sebentar lalu menambahkan, "Gue nggak tau apakah ini waktu yang tepat buat ngomongin ini semua. Tapi ... gue rasa gue nggak cukup kuat buat nyembunyiin ini lama-lama."
Ruang rawat Sam lengang; persis seperti otakku yang melompong, tak peduli seberapa banyak informasi yang kudengar. Banyak apa, mengapa, bagaimana yang berseliweran seolah kelaparan mencari jawaban.
Tapi sedikit demi sedikit informasi itu akhirnya tersusun sedemikian rupa hingga membentuk satu konklusi. Dan rasanya ada yang membuncah begitu kuat sampai ketika aku tidak bisa lagi meredamnya, suaraku lolos begitu saja.
"Sam."
Mata kami bertemu.
Tanganku terkepal sebelum perlahan menyentuh jemari tangan kanan Sam yang terkulai. Tangannya tidak sehalus tutur katanya, tidak selembut tatapannya, tapi ada ketegasan dan kekuatan di antara tekstur kasar yang aku rasa selaras dengan apa yang berusaha ia sembunyikan dari orang di dekatnya.
"Cepet sembuh."
Kali ini, semoga dunia membuka telinganya lebar-lebar.
Tiga detik.
Kemudian Sam tersenyum. Secukupnya, sewajarnya, sesederhananya.
Lalu, ia balas merangkum tanganku, membiarkan jemari kami mengenal satu sama lain.
⁺೨*˚·
notes:
dikabarkan shia sedang menangis di pojokan kamar.
kalian nyesel kalo ga ngeplay medianya!!! /balik nangis lagi/
btw part ini part terpanjang gila ya aku kuat banget nulisnya.
semarang, 18 mei 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
twinkles.
Short StoryHanya tentang seorang Kinar yang ingin menyimpan kelap-kelip mata Sam. Kilanara Kinar mengagumi nyala hangat dari seorang Rasi Samudra, laki-laki super ramah yang tawanya menular dan disukai semua orang. Menyimpan rasa sukanya sendiri, Kinar dibawa...