2 | adu mulut

2.7K 491 69
                                    

⟦ 2 | adu mulut ⟧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

2 | adu mulut

⁺೨*˚·

"Lo ngapain sih, Hel?" tanyaku jengkel karena tidak tahan diperhatikan lekat-lekat olehnya sedari tadi.

Aku sedang mengerjakan soal latihan yang diberikan oleh guru matematika kami dan berhubung mata pelajarannya terpotong istirahat, aku memutuskan untuk mencicil karena tidak ada kerjaan juga. Dan seolah tidak mau membiarkanku bekerja dengan tenang, Helga meletakkan dagunya di tumpukan lengannya, menatapku sampai berhasil membuatku luar biasa risih.

"Temenin ke kantin, dong."

Aku bergidik mendengar nada suaranya yang dibuat sok imut. "Biasanya juga lo sama Abra, kan?"

Helga menghela napas. "Nggak tau gue di ke mana. LINE gue nggak dibales."

"Samperin ke kelasnya lah, sebelahan juga, padahal?"

"Males banget. Gue abis ngomelin dia semalem."

"Hah, kenapa?"

Helga mengerucutkan bibirnya. "Dia pulang malem banget gara-gara main futsal. Bilangnya sih, gitu. Bete gue. Kan gue takut dia sakit lagi kayak dulu. Udah capek sekolah malah dipaksain main begituan, bukannya istirahat."

"Namanya juga cowok, Hel. Wajar kali kalo pelampiasan stressnya ke aktivitas fisik."

"Ya iya sih." Helga menyangga kepalanya dengan tangan. "Sebenernya gue lega karena sekarang Abra mainnya banyak sama temen band-nya. Mereka care parah, sih, dibanding temennya yang dulu. Tapi gue 'kan tetep khawatir juga."

Aku tidak tahu siapa saja teman lama yang dimaksud Helga karena aku pun tidak sedekat itu dengan Abra; kami jadi sering bertemu tidak lain karena Helga yang sekelas denganku di kelas sebelas ini. Tapi, aku jelas tahu siapa saja teman-teman band Abra. Satu nama lantas muncul paling terang dibanding yang lain.

"Kin, ayolah temenin gue. Kali ini aja. Laper banget," keluh Helga. "MIPA 4 bukannya lagi pelajaran kimia, ya? Lo tahu sendiri kan Bu Nana tuh kalo ngajar suka ngambil jam istirahat. Pasti tuh anak-anak masih di lab."

Aku menghela napas. "Lo makan sandwich gue mau? Gue belom laper," tawarku.

"Ah, Kinaaar. Gue mau makan geprek Bu Sukmo!" seru Helga tak sabaran. "Nih ya kalo cowok-cowok itu ternyata udah nangkring di depan kelas, lo tutup mata aja deh ntar gue tuntun."

Aku meliriknya sekilas, memberengut.

"Nggak asik amat, sih, loooo? Ya kali lo mau menghabiskan dua tahun SMA lo di kelas aja? Cuma gara-gara cowok-cowok itu? Nih, ya, kalo perlu nanti gue—"

Helga tidak akan diam kalau permintaannya belum terpenuhi, sekeras apapun aku menolak. Jadi, aku pun berdiri. Diam-diam merutuki absennya Abra. "Buruan."

Helga kesenangan meninju udara dengan kepalan tangannya. Aku memutar bola mata.

Kami pun menyisiri koridor lantai dua, menuruni tangga, hingga kemudian langkahku melambat begitu alasan di balik keputusanku untuk membawa bekal setiap hari terlihat. Sekelompok lelaki duduk beramai-ramai di bangku panjang yang memang tersedia di depan setiap kelas, cuma mirisnya sampai ada yang duduk di bawah. Bayangkan seberapa rusuhnya. Kenapa, sih, mereka bertingkah seolah koridor itu milik mereka sendiri?

"Eits," Helga mencegatku yang hendak berbalik, "udah nyampe sini, masa mau nyerah, sih? Nih, ya, Kin, masa lo nggak inget kata Pak Janitra? Kita harus berani menghadapi ketakutan kita dengan percaya diri!"

Aku mengabaikan Helga yang membawa-bawa kutipan guru BK kami.

Tanpa bisa memprotes lagi, aku benar-benar pasrah saat Helga menarikku mendekati kelas MIPA 4 itu.

Suara tawa, cericipan saling timpal, genjrengan gitar, dan nyanyian bercampur jadi satu.

Langkahku kaku melewati teritorial mereka.

Awalnya aku sungguh tidak berpikiran apa-apa, tapi siapa sangka di antara kumpulan lelaki itu, aku akan menemukan dirinya?

Kamu tahu siapa.

Sam.

Si bassist.

Kenapa sih, dunia?

Ia menunduk sambil memetik gitar di pangkuan. Bibirnya samar bergerak menyuarakan lirik lagu. Entah memang dirinya yang mencolok atau aku memang sudah menghafal bagaimana perawakannya, dalam sekali pandang aku langsung mengenalinya.

Pemandangan itu sempat membuat pikiranku kosong sejenak hingga sebuah teriakan tertahan menyadarkanku.

"Aw! Anjrit!"

Kontan mataku melebar, menyadari apa yang kulakukan. Helga di depanku menoleh ke belakang.

"Eh, m-maaf, gue nggak sengaja," kataku cepat. Aku meringis. Tidak sadar telah menginjak tangan seorang lelaki yang tidak kuketahui namanya.

Helga, untungnya, segera mengulurkan bantuan. "Hih, lagian lo sih Ram, duduk di bawah. Udah tahu ini tuh jalan buat orang lewat! Ngerasain kan lo akibatnya."

"Kok gue, sih, gue kan korban di sini!"

"Nggak usah playing victim, lo yang ngalangin jalan orang. Namanya jalan ya buat diinjek-injek!" Helga tidak mau kalah.

Di tengah perdebatan mereka berdua, pandanganku sempat bersirobok dengan kedua mata Sam yang berpendar ceria karena terbahak. Sepertinya ia menikmati adu mulut yang sedang terjadi. Tawanya kemudian terjeda, berangsur hilang hingga beralih membentuk sebuah senyum simpul.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan.

Gila.

"Mahabenar perempuan dengan segala cocotnya!"

"Heh, mulut lo, ya, Ram!" Helga berdecak. "Ah, ngapain juga sih gue ngeladenin lo? Yuk, Kin, urusan perut gue lebih penting." Helga menarik tanganku, membawaku meninggalkan perkumpulan itu di belakang.

Sepertinya aku harus berterima kasih banyak-banyak pada Helga karena kalau saat itu juga ia tidak menggeretku pergi, aku tidak tahu kejadian memalukan apa lagi yang akan terjadi akibat kelakuanku.

⁺೨*˚·

notes:

update soalnya aku eneg bgt sm per-uas-an.

uas-ku dikit lagi selesai heu ga sabar mau banyak nulis :(

yogyakarta, 8 mei 2020.

twinkles.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang