⟦ 6 | harta karun ⟧
⁺೨*˚·
Aku meregangkan anggota tubuh setelah menyelesaikan soal latihan terakhir. Memandang langit-langit kamar sejenak, aku baru sadar sudah seberantakan apa meja belajarku sekarang. Hari ini hari Minggu dan besok Senin adalah hari pertama Ujian Akhir Semester 1. Sungguh, tidak terasa waktu secepat itu berlalu, padahal seingatku baru kemarin Helga mendekati mejaku dan menawarkan diri menjadi teman sebangku.
Udara dingin peralihan November ke Desember tercium dari jendelaku yang terbuka. Mengamati jejeran pot-pot kecil berisi kaktus yang bermandikan cahaya matahari mengundang langkahku mendekati mereka. Aku sudah bilang belum kalau mamaku mempunyai usaha penjualan sukulen? Sepertinya kecintaan beliau pada sukulen menurun padaku. Saking sayangnya, aku memberi nama kaktus-kaktusku, menganggap mereka seperti halnya teman. Terkadang, aku mengajak mereka berbicara. Pernah dengar, tidak, kalau tumbuhan bisa mendengar?
"Kinar, makan siang dulu, yuk!" Teriakan itu terdengar dari luar kamar, pintu kamarku diketuk, kemudian dibuka. Perawakan mama terlihat. "Lagi ngapain? Udahan belajarnya?"
Aku mengangguk. "Udah. Papa udah balik?"
"Belum. Padahal cuma beli obeng aja, kenapa lama, ya?"
Aku tersenyum geli. "Jangan-jangan keasikan ngobrol sama Pak Jono?" Pak Jono adalah satpam kompleks kami. Terkadang di hari libur begini atau malam-malam, bapak-bapak di kompleksku akan berkumpul di pos satpam, entah membicarakan apa.
"Ya udah, Mama telpon dulu, deh. Nggak makan-makan nanti kitanya gara-gara nungguin Papa."
Selagi menunggu makan siang, aku meraih toples kacang mede dan memutuskan untuk berselancar di Instagram. Selain mengikuti akun teman-temanku, kebanyakan isi berandaku adalah akun-akun desain interior dan tipe personal blog yang biasanya menge-post tempat-tempat cantik di dunia. Aku menontoni Instagram Story, seringnya kulihat sekilas saja, tapi tiba di story milik Abra, ibu jariku menekan layar ponsel lebih lama.
Aku mengernyit, berusaha menganalisis wajah-wajah yang ada di dalam video singkat beraksen hitam-putih itu. Abra menulis caption berbunyi: besok uas sih, tapi nge-band jalan terus, bos! dan mengetag tiga akun lain.
gibranhatari, imakrama, rasisamudra.
Video itu memperlihatkan suasana studio; tiga lelaki selain Abra terlihat memainkan sepotong lagu dengan alat musik masing-masing. Aku tahu lelaki yang berdiri di dekat drum, mengenakan kaos dengan luaran kemeja yang aku tidak tahu warna aslinya apa, adalah Sam. Tali gitar bass tersandang di bahunya. Profil wajahnya cuma terlihat setengah karena tubuhnya agak menyerong.
Aku menurunkan ponsel.
Kacang medeku terabaikan.
Kenapa jantungku tiba-tiba berdebar begini?
Melihat video itu sekali lagi, entah keberanian dari mana aku menekan tulisan rasisamudra—sebuah akun yang sudah terisi oleh dua belas foto dan mempunyai pengikut sebanyak tiga ribuan. Aku mereguk ludah.
Menit-menit selanjutnya tanpa sadar kuhabiskan meneliti tiap sudut dari akun Sam, mulai dari menggulir postingan feeds yang mengabadikan pemandangan, teman-teman, serta keluarga. Salah dua foto memperlihatkan keakraban Sam bersama seorang perempuan, yang kuasumsikan adalah kakaknya lantaran miripnya tulang pipi dan lengkung senyum mereka. Lalu aku membuka satu-satu beberapa highlight miliknya yang isinya tidak jauh-jauh dari permainan gitar dan cover lagu. Bahkan, di antara dua belas postingannya, ada 3 video durasi satu menit yang memperdengarkan suaranya menyanyi.
Suara Sam ... aku tidak pernah membayangkan lelaki itu menyanyi. Tapi, kini setelah mendengarnya secara tidak langsung, ada gelenyar asing yang memenuhi perutku, menghadirkan sensasi gelitik dan senyum.
Ibu jariku nyaris menyentuh tombol follow berwarna biru itu. Tapi kesadaranku sepertinya lebih dulu menguasai, cepat-cepat, kututup aplikasi Instagram dan mengeluyur keluar kamar.
"Kinar, masakan Mama kurang asin, ya? Kok kamu makannya pelan banget? Tumben."
"Lagi stress kali, Ma, besok kan Kinar ujian."
"Iya juga, ya, Pa. Nanti Mama bikinin puding labu, deh, biar anak Mama nggak tegang-tegang banget. Besok dibawa, ya, bagi-bagiin ke temen kamu?"
"Ma, Papa suka puding cokelat. Dibikinin juga, nggak?"
"'Papa bukannya bisa bikin sendiri?"
"Haduh, Kin, liat coba nih. Kasiannya Papamu ini," keluh papa, mampu merekahkan senyumku.
"Nanti aku yang bikinin, deh, Pa," ujarku.
Papa mengangkat dua tinjunya tinggi, meledakkan tawaku dan mengundang decakan mama.
"Terus puding buat Mama siapa yang bikinin, dong?"
Aku bertukar tatap dengan papa. Mengerjap.
Papa akhirnya bersedekap. "Ya udah, nanti Papa bantuin Kinar. Puding cokelatnya buat Papa dan Mama."
"Pede banget, Pa, emangnya Mama suka puding cokelat?"
"Eeiii, dulu siapa yang suka bikinin puding cokelat buat dimakan berdua sama Papa?"
Aku terkikik geli melihat papa menggoda mama. Semu merah merambat di pipi meskipun mama berusaha menyembunyikannya dengan merengut.
"Kin, dulu ya, Mama suka masakin Papa macem-macem, tapi puding cokelatnya juara di hati Papa. Awalnya Papa nggak suka cokelat, tapi karena bikinan Mama oke rasanya, lama-lama Papa suka, deh."
"Cieeeeh Mamaaa," godaku. "Terus terus, Pa? Papa jadi naksir Mama karena dimasakin?"
"Hmm…"
Aku mengedip tak sabar menunggu, berikut Mama yang mencondongkan badannya ke arah Papa.
"Itu sih … rahasia!"
⁺೨*˚·
notes:
jangan kelewatan part 5-nya!!
yogyakarta, 12 mei 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
twinkles.
Short StoryHanya tentang seorang Kinar yang ingin menyimpan kelap-kelip mata Sam. Kilanara Kinar mengagumi nyala hangat dari seorang Rasi Samudra, laki-laki super ramah yang tawanya menular dan disukai semua orang. Menyimpan rasa sukanya sendiri, Kinar dibawa...