16 | hari lahir

1.5K 392 9
                                    

⟦ 16 | hari lahir ⟧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

16 | hari lahir

⁺೨*˚·

Kedatangan kami di hotel setelah puas memanjakan mata dengan hiruk pikuk di daerah Seminyak disambut oleh gadis yang sempat jadi topik perbincangan di kafe. Jemima. Gadis itu sudah menunggu di lobi, buru-buru berdiri dan menghampiri Sam.

"Sam, lo kok nggak bilang-bilang, sih, mau keluar? Mana LINE gue nggak lo bales. Untung Gibran bilang lo lagi sama dia." Jemima kemudian menyorongkan sebuah kotak yang dipita rapi ke arah Sam. "Happy birthday," katanya, tak lupa diakhiri senyuman manis.

"Lah?"

"Hah, Sam, lo BD?"

"BD apaan? Oh, birthday. Lah, ini tanggal berapa, sih?"

"Anjir, kok nggak pada inget sih kalian semua?" Jemima menyisir orang-orang yang berdiri di sebelah Sam lalu menggelengkan kepala.

"Thanks ya, Jem." Sam tersenyum tipis.

"No prob. Gue balik deh ya, lagi nonton film bareng temen-temen, soalnya."

Jemima pun berlalu.

Orang-orang di sekitarku saling berpandangan, kemudian seolah mereka bersepakat dalam diam, detik selanjutnya lobi ramai oleh seruan: "HAPPY BIRTHDAY, SAM!"

"Makin pinter, amin!"

"Bangun lebih pagi, amin!"

"Gamarda makin sukses, amin!"

"Cepet dapet cewek—eh, paan sih kok gue ditimpuk!"

"Sam, bantu doa kita-kita yang masih jomlo dong, siapa tau diijabah."

"Yeu! Jadi drummer yang bener dulu, Bran."

"Brisik lo semua!" Sam menyudahi seruan saling timpal itu, meski ujung-ujungnya ia ikut terbahak juga.

Aku tertawa kecil melihat kelakuan mereka.

Mereka pun memutuskan berdiam lebih lama di lobi untuk bersantai-santai dan mengobrol. Sebelum mereka menuju sofa, aku buru-buru bersuara, "Gue duluan ke kamar, ya. Mau istirahat."

Helga langsung mengangguk. "Oke, Kin. Jangan lupa bukain pintu, gue nggak mau ya tidur di lobi."

Aku tergelak. "Iya, iya."

"Bye, Kin!"

"Met istirahat, yak!"

Aku melangkah menjauhi mereka. Sekali menguap, rasa lelah dan keinginan untuk menempel pada kasur makin besar. Tiba di depan lift, aku memencet tombol dan menunggu. Jalannya lift terasa lama sekali sampai-sampai aku merosot berjongkok dan bersandar pada dinding. Gila, tadi kami berjalan berapa kilometer, sih? Kakiku begitu kebas dan seperti ada yang menusuk-nusuk bahuku tidak karuan.

Sayup derap langkah dari arah lain terdengar, tapi mataku sudah setengah tertutup. Rasanya tidak peduli lagi kalau ada orang yang melihat posisiku sekarang. Kepalaku telanjur berat untuk sekadar menengadah.

"Kin, lo nggak mungkin tidur di depan lift kayak gitu, kan?"

Vokal itu seolah menghapus kantuk dalam sekali hempas; leherku segera menegak. Dan di sana, di samping lift, satu tangannya menahan tombol, matanya ikut mengekspresikan kegelian yang hadir dalam lengkung bibirnya.

Rahangku jatuh. Kenapa Sam bisa berdiri di situ?

"Haruskah gue biarin lift-nya naik lagi?" tanyanya.

Oh.

Dalam satu sentakan, aku berdiri, tergopoh-gopoh masuk ke dalam lift yang menganga sedari tadi, disusul dirinya.

Aku mengucek kedua mata, merapikan rambut tanpa sadar.

Ruang kecil itu lengang, cuma ada desingan mesin selagi lift beranjak naik dan Sam yang mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada pegangan lift yang melingkari dinding. Hingga lelaki itu membelah keheningan dengan kalimat kasual.

"Lo capek banget ya, Kin?"

Aku mengangguk sekilas, memijat tengkuk. "Baru kerasa sekarang. Lo nggak capek, Sam?"

"Hm, belum kerasa, kayaknya. Gue seneng sih jalan-jalan kayak tadi. Pemandangannya bikin nggak bosen, padahal isinya toko jejeran sama macet doang. Bali emang beda, ya?"

Aku tersenyum menyetujui.

"Lo mau ikut gue, nggak?"

"Ke ... mana?"

"Rooftop. Ada cafe bar-nya, outdoor gitu, seru buat liat Bali dari ketinggian."

Mendengar penawarannya, aku tergugah. Badanku yang nyaris remuk terlupakan. Betapa aku ingin langsung mengiakan tanpa pikir dua kali. Tapi, haruskah? Haruskah aku membiarkan diri terlibat lebih jauh lagi sedang aku tidak ingin perasaanku terhadapnya berkembng lebih besar?

Bukankah satu-satunya jalan adalah memperegang jarak di antara kami?

Jadi, aku menggeleng. "Lain kali, ya, Sam?" tolakku halus, meski aku tahu tidak ada lain kali karena besok adalah hari terakhir di Bali.

Sam terkekeh. "Santai aja, Kin. Lagian lo kan emang capek."

Angka di atas lift mendekati nomor lantai kamarku. Tak berapa lama, pintu lift terbuka. Tungkaiku sudah selangkah meninggalkan Sam, tapi ada gagasan yang menghentikanku saat itu juga dan memutar badanku ke arah lelaki itu. Sam tampak bertanya-tanya.

"Happy birthday, Sam."

Hari ini hari spesialnya dan apa pun keputusanku sekarang bukan berarti aku tidak boleh ikut merayakannya, kan?

Sam tersenyum. Manis sekali, sampai lengkung itu menyentuh kedua matanya. "Thanks, Kinar. See you besok?"

Aku mengangkat alis, kemudian mengangguk. "See you."

⁺೨*˚·

semarang, 16 mei 2020.

twinkles.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang