Yang pernah hilang jangan sampai hilang lagi. Yang sudah didapatkan, jangan sampai pergi lagi.
***
Di selasar gedung Fakultas Teknik Gabriel berdiri. Ia menajamkan pandangan, dua tangannya tenggelam di saku celana. Dari gedung A3, ia melihat Grisha Kania bersama seorang laki-laki yang tak dikenalnya.
Alis Gabriel menukik ketika melihat tangan Grisha ditarik dan laki-laki itu berbisik. Ada apa? tanya Gabriel membatin.
"El, ngampus pagi, nih?" Senggolan di bahunya menyentak Gabriel kembali ke realitas. Ia melihat Sarah yang berdiri di sampingnya sambil membawa beberapa lembar kertas dan buku-buku tebal.
"Iya, nih. Itu apa?" tunjuk Gabriel pada barang yang dibawa Sarah.
Sarah mengangkat benda itu hingga sejajar dada. "Ini ... tugas jurnalistik minggu kemarin."
Kemudian Sarah pamit pergi dan Gabriel membiarkannya berlalu. Sementara itu, perhatiannya kembali terfokus kepada dua orang yang tengah menghadapi sebuah perdebatan. Saat ia kembali menoleh ke arah yang menjadi alur jejak Sarah, gadis itu sudah tak lagi terlihat. Gabriel kembali menatap ke arah objek semula. Grisha Kania tak ia temukan lagi di sana. Kini hanya ada cowok yang menarik tangan Gris, dan gadis yang menghampirinya dengan hentakan kaki yang tersirat emosi.
Gabriel mendengus. Itu sama sekali bukan urusannya.
Kemudian ponsel di saku celananya bergetar. Suara seseorang langsung memenuhi telinganya setelah dering pertama.
"Lo di mana? Nggak mau ngambil kamera, nih? Apa buat gue aja?"
Gabriel menepuk dahinya.
"Enak aja lo!" sambarnya. "Gue ambil sekarang, deh, tungguin di kantin aja."
"Gue males ke luar, El, lo aja yang ke tempat gue. Gue di sekre nih. Masa pisang yang datengin monyet?"
Monyet? "Apa lo bilang?!"
"Emangnya gue bilang apa tadi?"
"Bangsat!" maki Gabriel. Kalau saja kamera yang ada pada Edgar itu miliknya, terserah saja kapan Edgar mau mengembalikan. Tidak dikembalikan juga tidak apa-apa. Tetapi kamera itu milik adiknya. Bergegas ia melangkah menyeberangi jalan beraspal di area kampus dengan ponsel yang masih di telinga. "Tunggu di samping GOR. Nggak ada lagi penawaran!"
Padahal yang perlu dirinya, tetapi ia yang mengatur orang lain.
Seharusnya Gabriel tahu untuk apa dirinya dipertemukan lagi dengan gadis itu. Walau tidak bertemu secara langsung ketika di restoran waktu itu. Semestinya Gabriel bersyukur ketika hendak berbelok ke lapangan bola, tanpa sengaja dan rencana matanya bertemu dengan manik mata indah milik Grisha. Entah untuk apa seharusnya Gabriel menyadari ini, hanya ketertarikan yang matanya dapatkan bahkan ketika Grisha tak sama sekali menarik senyum untuknya. Lagi pula untuk apa juga Gris melakukan itu padanya?
Tunggu sebentar, Gris, aku ambil kamera dulu. Dan kamu jangan ke mana-mana! tukas batinnya berusaha mempertahankan eksistensi Gris. Padahal tak mungkin sementara Gris kini sudah berlari turun melompati undakan tangga.
Barangkali suatu hari, Gabriel memang harus berusaha lebih keras lagi. Grisha Kania yang akhirnya ia temukan tak boleh hilang lagi.
Gabriel masih ingat seperti apa mereka saat di sekolah menengah pertama. Hanya sebatas berteman biasa. Tak ada perasaan merah jambu saat itu—bohong. Gabriel pernah berkata dia mungkin menyukai Gris, tetapi gadis itu galak. Mereka hanya berteman, tertawa, dan mengerjakan tugas selalu pada kelompok yang sama. Karena sejak saling mengenal satu sama lain di SMP, meski selalu satu kelompok yang sama, Gabriel ingat Gris tidak terlalu berkenan membuka diri untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us✓
Teen FictionJatuh cinta pada Grisha Kania adalah sesuatu yang selalu Gabriel lakukan dalam separuh hidupnya. Dengan mengamati gadis itu diam-diam, setidaknya Gabriel merasa cukup. Tetapi, ketika mereka bertemu di reuni SMA, semua tak lagi sama. Gabriel tidak b...