Sangat banyak hal yang harus dianggap baik, banyak sekali harapan yang harus dipatahkan dan terlalu banyak perasaan yang harus dimatikan.
***
Di rumah Gris, sisa-sisa aktivitas tadi malam masih sama persis seperti waktu yang telah terlewati beberapa jam yang lalu. Kenyataan bahwa papanya yang belum menyantap makanan sama sekali setelah pulang bekerja membuat Gris berada di sini, di meja makan marmer berlapis kaca dan taplak berwana cokelat tua. Dua buah piring berisi nasi dan begitu banyak lauk pauk terhidang di atas meja. Serta dua gelas air putih yang tenang tak terusik tak begitu menarik perhatian Gris.
Gadis itu menatap lurus ke depan. Ke arah papanya yang bergerak menyantap makanan, meneguk air putih, menyapu bibir dengan tisu, lalu mengigit sebuah apel. Sampai saat ini, Gris tak juga menyentuh makanannya.
“Kenapa tidak dimakan, Gris?” tanya Prawira Muis melihat putrinya terdiam cukup lama.
Bagaimana bisa? bisik Gris membatin.
Gris meneguk air minum di gelasnya. “Gris nggak lapar,” jawabnya, lalu bangkit dan berlalu di hadapan papanya. Saat sampai di pintu pembatas antara ruang makan dan ruang duduk, Gris menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah Prawira Muis. “kalau Bu Pur mau membereskan sisa makan malam kita, tolong cegah dia. Besok, biar Gris saja yang membereskan dan membersihkan semuanya.”
Prawira Muis mengernyit. “Ada apa denganmu, Gris?”
Gris ingin sekali membalas; Kenapa Papa masih saja bertanya? tetapi ego itu ia tahan. Gadis itu tersenyum sekilas. “Nggak ada apa-apa.” Kemudian benar-benar berlalu.
Pria itu tak mampu lagi menelan gigitan apel dalam mulutnya. Semua terasa pahit. Terasa mencekik. Tatapannya tertuju ke arah kulkas empat pintu yang terlihat dari ruang dapur, langkah pria itu mendekati objek yang ia lihat. Alina Azhary tersenyum luar biasa manis dalam figura foto yang berdiri di atas kulkas yang tinggi.
“Sayang ...” Prawira Muis merasakan matanya mulai berkaca-kaca. “Putrimu ...” ia menelan saliva. “Aku minta maaf karena sudah menyakitinya dengan kata-kataku.” pria itu mengusap permukaan kaca yang melindungi senyum paling indah bagi Prawira Muis.
Sesungguhnya, Gris tidak benar-benar pergi. Di balik sekat yang membatasi ruang makan dan ruang duduk, tubuh yang lelah itu berdiri dengan lutut yang kian lemah. Ia mendengar dengan jelas bagaimana kegetiran dari suara papanya berbicara dalam kesendirian dan menyebut namanya. Tidak, papanya tidak bicara sendiri, papanya berbicara dengan seseorang dalam figura foto di genggamannya.
Lemah sekali kamu, Gris. Dia mengusap wajah, cairan yang turun dari pipinya turut terseka oleh punggung tangannya.
Tadi malam, papanya tertidur di meja makan. Satu tangannya terulur dari lengan kursi, sedangkan tangan yang lain menjadi tumpuan untuk kepalanya di atas meja. Makanan-makanan yang masih berada di atas meja mengeluarkan bau yang berbeda. Maka, dengan gerakan pelan, Gris membangunkan papanya.
“Gris?” Perlahan, Prawira Muis memperhatikan sekitarnya. Ia mengusap area sekitar mata dan menyipit, menyesuaikan cahaya lampu dengan matanya yang baru terbuka. “Sudah siang?”
“Subuh, Pa,” kata Gris.
Papanya kemudian memelesat pergi dari ruang makan. Sementara, Gris mematung. Dulu, saat dia masih kecil, Gris selalu membantu mamanya menata makanan di atas meja pada jam yang sama seperti sekarang.
“Buah yang sudah mulai busuk ganti sama buah segar di kulkas, ya, Sayang,” kata Alina Azhary.
Gris kecil mengangguk ceria. “Siap, Kapten!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us✓
Подростковая литератураJatuh cinta pada Grisha Kania adalah sesuatu yang selalu Gabriel lakukan dalam separuh hidupnya. Dengan mengamati gadis itu diam-diam, setidaknya Gabriel merasa cukup. Tetapi, ketika mereka bertemu di reuni SMA, semua tak lagi sama. Gabriel tidak b...