Kenyataan bahwa Gris menerima ajakan kencannya terasa sangat menyenangkan.
"Aku pikir kamu berubah pikiran," kata Gris ketika ia membuka pintu rumah untuk Gabriel.
Gabriel tersenyum tipis. Ia memandang Gris lama. Gadis itu hanya memakai piama tidur berwarna hijau muda. Gadis itu, walaupun dia tidak menolak, tetapi masih saja bersikap seolah-olah enggan kepadanya.
"Kamu beneran mau pergi sama aku, ‘kan? Kamu serius cuma pakai piama?" Gabriel mengerutkan alis. Ia berkacak pinggang di hadapan Gris.
"Memangnya kenapa dengan piama? Pakaianku sopan, nggak mengumbar aset," sahut gadis itu. Ia melebarkan daun pintu. Tetapi belum mempersilakan Gabriel untuk masuk.
Gabriel mengangkat dagu, lalu melipat tangan di depan dada. Satu alisnya terangkat. "It's okay. Aku baik-baik saja dengan bagaimana pun penampilan kamu. Tapi aku nggak menyelamatkan kamu lagi kalau kali ini kamu benar-benar jadi perhatian orang banyak. Tentu saja kamu akan mendapat perhatian pengunjung satu restoran."
Wajah Gris memerah. "Kamu izin ke Papa saja belum. Belum pasti juga aku diberi izin pergi. Kalau aku pakai dress duluan, dan aku nggak dibolehi pergi sama Papa, sayang."
Gabriel terkejut. "Sayang siapa?"
Gris memutar bola mata mendengar respons Gabriel. "Sayang dress-ku," sahutnya ketus, gadis itu membuka jalan untuk Gabriel. "Masuk, Papa sudah nunggu di ruang tamu."
Ini akan sangat menegangkan. Namun Gabriel tetap melangkah dengan berani. Gris membawanya berjalan melewati basement mini di rumah mewah berlantai dua milik gadis itu. Ketika sampai di ruang tamu, Gris langsung meninggalkan Gabriel berdua dengan Wira.
Wira memelankan suara televisi lalu menyambut Gabriel. Gabriel mengumbar senyum paling santai yang ia bisa. Sehebat apa pun kamu menarik hati para gadis, tetap saja bertemu dengan orang tua dari gadis yang kau incar bukanlah hal yang mudah. Kau boleh jadi dengan mudah meluluhkan hati putrinya, tetapi ayahnya bukan gadis yang hatinya kau incar. Hatinya tidak akan mudah luluh.
"Selamat malam, Om," sapa Gabriel sopan.
Wira membalas tak kalah sopan, "Ya, selamat malam. Mau kencan ke mana?" tembaknya langsung.
Gabriel duduk du sofa panjang, sedangkan Wira di sofa tunggal.
"Ke Kemang saja, Om," jawab Gabriel. "Paling lambat jam 11 malam Gris sudah saya pulangkan. Kalau jam segitu anak Om belum sampai rumah, Om bisa datang ke rumah saya di Jakarta Selatan. Om pasti menemukan saya di sana, kalaupun enggak, Om bisa minta orang tua saya yang cari. Dan, kalau mereka menemukan saya, saya yakin mereka pasti menyerahkan saya ke tangan Om dengan keadaan babak belur karena sudah menculik anak gadis Om."
Wira tertawa. Sungguh, ini bukanlah lelucon.
"Omong-omong, saya serius, Om," kata Gabriel.
"Serius apa?"
"Serius dengan anak Om," cetus cowok itu tanpa pertimbangan yang matang.
Wira tak lagi tertawa. Kini, rautnya serius. "Siapa namamu?" Ah, seharusnya dari awal Gabriel diberi pertanyaan ini.
"Gabriel."
Sontak, alis Wira berkerut dalam. Ia memperhatikan Gabriel dengan tatapan yang lamat. Belum sempat Wira bertanya hal selanjutnya, suara Gris menginterupsi pembicaraan mereka.
"Jangan percaya omongan apa pun yang Gabriel katakan, Pa, semuanya bohong." Gadis itu berdiri di depan papanya. Lalu mencium punggung tangan tegas itu. "Gris boleh pergi?"
Wira melirik Gabriel. Lalu kembali pada Gris. Ia mengangguk.
Rambut hitam Gris tergerai melewati bahu. Gadis itu memakai dress berwarna hitam di atas lutut, tetapi tidak terlalu pendek. Ia memilih Dior untuk tas tangan sebagai aksesori. Dan, Gris hanya memakai flatshoes senada dengan warna dress-nya. Membuat kulit betisnya yang putih bersih tercetak secara sempurna dengan warna yang berpadu manis di kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us✓
Teen FictionJatuh cinta pada Grisha Kania adalah sesuatu yang selalu Gabriel lakukan dalam separuh hidupnya. Dengan mengamati gadis itu diam-diam, setidaknya Gabriel merasa cukup. Tetapi, ketika mereka bertemu di reuni SMA, semua tak lagi sama. Gabriel tidak b...