Bab 24 : Rumah Posmo Nomor 116

372 31 10
                                    

Pada senyummu kutemukan kebahagiaan lain yang untuknya aku rela mengesampingkan kebahagiaanku sendiri.

***

Dia mematikan mesin mobil lalu menjatuhkan kepala di kemudi, alisnya berkerut dalam menahan sakit. Tangan kirinya berada di atas kepala, merenggut helai-helai hitam yang baru saja dipangkas lebih pendek itu. Sementara, tangan kanannya mengepal di atas paha.

Gabriel merasakan kepalanya pusing sekali. Tidak biasanya dia seperti ini. Walau tadi malam, bersama Edgar dan Ikrar, ia melanggar kesepakatan pada diri sendiri yang berjanji bahwa ia tidak akan meminum terlalu banyak wine. Namun, setelah mengobrol banyak dengan dua sahabatnya yang sinting dan mulai mabuk itu, Gabriel lupa diri. Seingatnya, Gabriel hanya menghabiskan sebotol wine dan ingatannya berhenti sampai di situ. Tahu-tahu ketika bangun, Gabriel sudah berada di atas tempat tidur apartemen Ikrar.

Begitu lebih baik daripada Ikrar memulangkan dirinya yang teler ke rumah. Bisa-bisa kejadian pemukulan dengan gesper dari papanya beberapa tahun yang lalu terulang lagi walau peraturan itu sudah tidak berlaku. Sialnya, tetap saja.

Gabriel meringis pelan. Sekarang dia harus bertemu Gris. Dia merindukan gadis itu, sangat. Dia bahkan sampai menolak memberi tumpangan untuk dua sahabatnya pergi ke kampus demi Gris. Kalau dipikir-pikir, lebih baik begitu daripada dua sahabatnya kehilangan tumpangan saat pulang karena Gabriel sudah bersama Gris. Lebih baik jahat dari awal daripada jahat di akhir.

Ah, keterlaluan. Sakit kepala ini yang keterlaluan.

Biasanya, mabuk Gabriel tidak terbawa sampai siang begini. Mungkin karena dia sudah lama tidak meminum alkohol adalah penyebabnya.

Gabriel menapaki jalanan kampus FISIP dengan ponsel yang berada di telinga dan tangan kiri yang mengapit sebatang rokok di antara jemarinya. Matanya menyipit setelah asap dari mulutnya mengepul, bersamaan dengan itu, teleponnya terjawab. Suara Gris terdengar.

“Apa?”

“Aku di kampusmu, nih. Kamu di mana?”

“Di kantin fakultas, aku lagi sarapan. Kamu datang saja ke sini.”

“Iya, aku ke sana. Pesanin aku sup, ya.”

Setelah Gris berkata iya untuk permintaannya, Gabriel memutuskan sambungan telepon dan langsung memelesat menuju kantin fakultas untuk mencari keberadaan Gris. Ketika sampai, mata Gabriel mendapati seorang gadis yang ... astaga, dia berwarna biru muda dan putih, lengannya yang putih bersih tidak tertutupi lengan sweater, melainkan terekspose dengan sangat indah karena kemeja lengan pendek yang dipakai gadis itu. Lalu, rambutnya yang hitam naik membebaskan tengkuk, ia digelung dengan rapi di atas kepala. Beberapa helainya dibiarkan lolos melewati telinga.

Gadis itu tersenyum kepada seorang laki-laki yang menyapanya ketika ia kembali ke meja dengan membawa sebuah mangkuk yang isinya mengepul, barangkali, isi mangkuk itu adalah sup. Berani-beraninya laki-laki itu menyapa gadisnya.

“Asik banget, ya, senyum-senyum ke cewek orang. Berasa apa banget lo?” serang Gabriel kepada laki-laki kurus yang duduk di meja seberang meja Gris. Tangan Gabriel berada di atas meja untuk menyanggah tubuhnya. “Udah berasa apa?!”

Laki-laki itu meminum air putihnya dengan air muka santai. Lalu, ia membalas tatapan Gabriel dengan berani. “Ah, Gabriel Tirtanara.” Laki-laki itu bangkit dari duduknya, ia merentangkan tangan ke arah kursi di seberang meja, menyuruh Gabriel duduk di sana. “Duduk dulu, Gab. Gue cuma nyapa dia tadi, habisnya, dia cantik banget.”

Persetan!

Rahang Gabriel mengeras. Ia menyentak laki-laki itu dengan meraih kerah kemeja sweaternya hingga tubuhnya berjinjit. Para mahasiswa yang sedang menikmati sarapan langsung mengalihkan atensi mereka kepada dua orang yang berhadapan itu, termasuk Grisha Kania di meja seberang. “Gue bilang, jangan berani-berani deketin cewek gue lagi! Apa peringatan gue hari itu kurang jelas, hah?!”

Before Us✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang