Terkadang kita tidak mengerti kenapa kita mau-mau saja dilukai oleh cinta.
***
“Aku bilang tunggu di bawah pohon akasia!”
Karena perkataan Gris itu, Gabriel berakhir di sini. Di bawah pohon akasia, di kursi panjang berwarna putih, dan di antara sejuknya angin sore yang mulai berembus. Gabriel menunggu Gris datang di lapangan Fakultas Teknik. Meski sekarang seharusnya dia sudah pulang ke rumah, tetapi untuk Gris, dia menunda jam pulang.
Benda putih yang sempat hendak ia hisap di gubuk tadi sudah dibuang Gabriel. Bukan sepenuhnya karena Gris yang mengancam akan meninggalkannya kalau Gabriel tidak membuang benda itu, tetapi karena Gabriel merasa dia memang tidak seharusnya lari dari masalah dengan menggunakan barang-barang terlarang.
Gabriel mengusap wajahnya kasar. Meski begitu, Gabriel tetap saja cemas dengan semuanya. Segalanya. Dia mencintai Gris, sungguh. Di antara semua sikap yang ditunjukkan Gris kepadanya, Gabriel tidak pernah keberatan. Dia mencintai gadis itu tanpa karena. Sebab, ketika dia melihat gadis itu tersenyum, dunianya seolah dikuasai oleh gadis itu. Bagaimana rambutnya yang hitam halus menari-nari indah, matanya yang indah mengerjap-ngerjap dan alisnya yang selalu berkerut tak suka ketika dia marah.
Semua yang ada dalam diri Gris dicintai Gabriel tanpa karena, entah sejak kapan.
Gabriel seketika bangkit saat gadis dengan celana jins warna hitam dan sweater biru dongker datang. Ransel tersampir di bahu kanannya. Rambutnya terikat ekor kuda. Dia menyuruh Gris untuk duduk, namun, gadis itu berdiri mematung di hadapannya.
“Ayo, duduk,” suruh Gabriel lagi. Gris masih menatapnya sebelum akhirnya mendudukkan diri di kursi. Sedangkan Gabriel tidak ikut duduk, karena wajah mereka yang berselisih jarak beberapa senti, Gabriel harus menatap Gris dengan kepala yang menunduk.
“Kamu juga duduk, di sini,” balas Gris. Dia menarik tangan Gabriel agar pemuda itu duduk di sampingnya.
“Apa yang mau kita selesaikan?” tanya Gris ketika mereka duduk bersisian, dengan mata yang terus bertatapan.
Sebenarnya, tidak ada.
Alina Azhary dan Gian Tirtanara sudah selesai sejak lama. Jadi, mereka tidak harus menyelesaikan apa-apa.
“Soal orang tua kita,” jawab Gabriel. Sayangnya, Gabriel terlalu cemas untuk membiarkan hal yang mereka tahu ini berlalu begitu saja. Gabriel merasa mereka perlu bicara lebih banyak.
“Bukan tugas kita untuk menyelesaikan masalah yang sudah berlalu itu, Gabriel,” kata Gris kemudian.
“Tapi aku khawatir, Gris.”
“Apa yang bikin kamu khawatir? Mamaku juga sudah nggak ada, dia nggak akan bisa kembali lagi sama papa kamu.”
“Bukan itu maksudku, Gris,” sergah Gabriel. Ia lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. “Kamu tahu, kan, bahwa aku sayang banget sama kamu?”
“Kamu nggak pernah bilang kalau kamu sayang ‘banget’ sama aku,” balas Gris dengan menekankan kata ‘sangat’ dalam ucapannya. “Jadi, aku nggak tahu. Aku cuma tahu kamu suka sama aku dan datang lagi ke hidupku karena aku.”
Gabriel menghela napas. Gris barangkali sengaja mengerjainya. Atau mungkin saja Gabriel memang harus mengatakan perasaannya kepada Gris dengan lebih jelas lagi. Sebab saat dia menembak gadis itu, dia tidak mengatakan semuanya. Gabriel pikir Gris paham.
Maka, untuk itu, Gabriel menatap Gris lagi. Tangannya meraih tangan gadisnya lalu menyelipkan jemarinya yang besar-besar ke sela-sela jemari Gris yang lentik. Digenggamnya tangan itu dengan lembut tanpa peduli sudah segila apa detak jantung Gris saat kulit mereka pertama kali bersentuhan. Seakan ingin membuat Gris mati di tempat karena serangan jantung, Gabriel malah mengangkat tangan Gris ke depan wajahnya, lalu mengecup telapak tangan halus itu dengan lembut. Ucapnya kemudian, “Aku sayang banget sama kamu, Gris. Melihat kamu senang, aku juga ikut senang. Melihat kamu sedih, aku juga merasakan kesedihan yang sama. Kamu adalah ketakutan terbesarku, aku takut kamu hilang. Setiap kamu marah-marah sama aku, aku senang. Karena dengan kamu marah-marah atau kesal sama aku, kamu jadi lebih sering mikirin aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us✓
Novela JuvenilJatuh cinta pada Grisha Kania adalah sesuatu yang selalu Gabriel lakukan dalam separuh hidupnya. Dengan mengamati gadis itu diam-diam, setidaknya Gabriel merasa cukup. Tetapi, ketika mereka bertemu di reuni SMA, semua tak lagi sama. Gabriel tidak b...