Bab 4 : Gabriel si Pengatur

892 93 23
                                    

Kamu tidak harus menolak ingat untuk lupa. Kamu hanya perlu rela untuk melepas luka.

***

Hati Gris terasa hangat. “Terima kasih sudah datang, Tante,” katanya.

“Sama-sama,” sahut Carita seraya meraih tangan Gris lalu digenggamnya. “Nama lengkapmu siapa?” Carita hanya ingin memastikan gadis inilah yang pernah diberikannya sebuah kehidupan.

“Grisha Kania,” sahut gadis yang wajah putih pucatnya kini semakin pucat.

Benar sekali. Nama yang terdiri dari dua kata yang mampu meluruhkan seluruh pertahanan yang dibuat oleh Carita agar air matanya tidak jatuh saat datang melayat jenazah Alin. Gadis ini—

“Ehm ... nama Tante?”

—Ternyata ingin tahu siapa namanya. “Carita. Saya Carita,” jawabnya gemetar.

Gris mengangguk pelan seraya membuka tutup wajah mamanya. Ia menatap lekat ukiran wajah yang sudah kembali kepada pelukan sang pemilik kehidupan, benar kata Carita, pucat mama tidak lagi menyimpan kesakitan.
Malam itu, Gris menghabiskan separuh malamnya untuk mendoakan mamanya. Di sepertiga malam ia bangun untuk salat, lalu tertidur beberapa jam sampai fajar menjelang.

Namun malam ini, Gris tidak menemukan Bara. Cowok itu tidak datang lagi setelah pamit pulang hampir enam jam yang lalu. Barangkali, Bara memiliki sesuatu yang harus ia urus yang lebih penting daripada berada di sisinya. Tidak apa-apa.

Bahkan sampai pagi menjelang, Bara tidak juga datang. Gris juga tidak mau naif dengan egois mengharapkan Bara hadir untuk penghormatan terakhir pada mamanya. Dia bukan siapa-siapa. Mamanya bukan siapa-siapa bagi Bara.

Jenazah Alin telah selesai dimandikan. Sekarang waktunya jenazah disalatkan. Gris tak lagi mampu menggiring mamanya yang dibawa ke masjid sehingga ia hanya duduk menunggu di rumah. Bersama Rahma—adik Alin—dan pembantu rumah tangga yang turut menyaksikan kepergian mama secara langsung.

“Kak Alin bilang apa sebelum dia akhirnya pergi, Bu?” tanya Rahma kepada pembantu rumah tangga Gris.

“Nyonya tidak bilang apa-apa, Bu, nyonya hanya mencari Tuan dan Nona Gris sebelum pergi,” jawab Bu Pur.

Gris terisak. “Nyesal banget, Tan, aku nggak bisa lihat mama untuk yang terakhir.”

Rahma menghela napas. “Nggak apa-apa, Gris, nggak apa-apa.” Walau tidak turut menitikkan air mata di depan keponakan kesayangannya ini, Rahma tetaplah seorang adik yang menangis saat kehilangan sosok kakak yang dicintainya.

“Gris, kalau kamu kesepian kamu boleh tinggal di rumah Tante,” tawar Rahma.

Gris menggelengkan kepalanya. “Nggak bisa, Tante, ada papa yang membutuhkan aku.”

Kemudian, telepon Rahma berdering dan seseorang di seberang sana mengatakan bahwa jenazah Alin sudah dibawa dari masjid menuju pemakaman.

Maka, Rahma mengatakannya kepada Gris, “Sayang, mari kita ke pemakaman, antar mama. Bu Pur, ayo kita bareng.”

Pemakaman hari itu berjalan lancar dengan segala doa pengiring kepergian Alin.

Tidak ada Bara di sisi Gris semenjak kepergian mamanya.

Hari ini Gris mulai masuk kuliah lagi setelah melewatkan beberapa SKS untuk mata kuliahnya. Saat mobil papa yang mengantarnya ke kampus berhenti di parkiran fakultas, Gris langsung melepas seat-belt lalu mencium tangan papanya.

Before Us✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang