Mungkin telah sampai saatnya aku melepaskan apa-apa yang seharusnya tidak pernah aku genggam.
***
Cukup diam saja jika kau tak ingin bicara. Jangan bersikap seolah-olah kau mau menerima jika sebetulnya kau enggan.
Maka, ia melakukannya. Ia tidak ingin— lebih tepatnya tidak menyangka—akan bertemu pemuda ini setelah beberapa tahun mereka lulus sekolah jenjang menengah pertama.
Dan ia tak tahu harus melakukan apa. Ia tidak pandai menciptakan, atau mencocokkan obrolan dengan orang baru—walaupun pemuda ini sebenarnya teman lama—tapi, saat SMP, dia dan pemuda di depan roda setir ini hanya sebatas teman dalam satu kelompok bersama dua laki-laki lainnya. Mereka sama sekali tidak dekat, ia juga tak ingin terlihat dekat dengannya. Cowok remaja pubertas yang dulu memiliki banyak jerawat di dahinya, namun populer di kalangan gadis-gadis di sekolah saat itu.
Grisha Kania tidak pernah ingin lebih dekat dengan pemuda di dekatnya ini. Tetapi sekarang, pemuda yang menarik lengannya setelah selesai reuni SMP—sekolah mereka yang sama—lalu menyeret Gris ke dalam mobil.
“Kamu masih ingat namaku, kan, Gris?” Pemuda itu mengenakan kaus hitam dan celana panjang warna cream, rambutnya masih rapi saat mereka di ruangan reuni tadi. Namun sekarang, beberapa helai rambut hitam legam itu jatuh menyentuh dahi hingga mencapai alis. Gris tahu pemuda itu lagi-lagi melirik ke arahnya.
Lalu, Gris menolehkan kepala ke arahnya. “Aku nggak pikun, aku ingat namamu,” ia menukas.
Gabriel Tirtanara namanya.
Gris bukan tidak peduli. Gris hanya tidak tahu seperti apa sebaiknya ia memulai pembicaraan ini.
“Terus kenapa kamu diam saja dari tadi?”
“Itu terserahku,” Gris menghadap ke arah Gabriel. “Kenapa kamu lihatin aku terus dari tadi?”
Gabriel telanjur terkekeh. Tidak peduli dengan lampu merah yang seharusnya memberi kesempatan untuk dirinya menatap Gris lagi, kini Gabriel malah memilih untuk fokus memandang lurus ke depan jalan.
“Maaf,” ucapnya, “habisnya, kamu kayak nggak kenal aku. Pas di restoran buang muka terus setiap aku lihatin. Beruntung tadi aku sempat narik kamu untuk pulang bareng, biar bisa ngobrol.”
Seenaknya ....
“Ya, kamu juga salah, lihatinnya begitu banget. Aku nggak nyaman,” cibir Gris.
Gris ingin meminta diturunkan di pinggir jalan saja lalu pulang naik taksi, daripada harus satu mobil dengan Gabriel ini. Memang, sih, Gabriel tampan. Walaupun ia hanya mengenakan sehelai kaus hitam, tetapi melihat lengan kekar Gabriel yang terpampang nyata sedang berada di atas kemudi mobil, Gris bisa saja salah fokus.
Faktanya, Gris tidak suka setiap kali dirinya harus menjadi peran yang tertarik kepada lawan jenis terlebih dahulu.
Hari itu, malam semakin larut. Bising sudah mulai sunyi ketika Gabriel bertanya jalan mana yang harus mobilnya lewati setelah ini.
“Belok kiri,” jelas Gris saat mereka ada di depan kompleks perumahan tempat tinggalnya. “Rumahku ada tepat setelah belokan. Cat warna biru muda, yang modern klasik.”
“Jadi kamu nggak nyaman sama aku?” tanya Gabriel setelah membelokkan mobilnya.
Gris dengan cepat menolehkan kepala menatap Gabriel. Merasa ambigu.
“Maksudnya, kamu nggak suka dilihatin kayak begitu?” ralat Gabriel cepat.
Gris membalas tatapan Gabriel, berusaha untuk mencari alasan untuk menjawab pertanyaan itu. Mengapa bisa dia merasa sesungkan ini dengan teman lama?
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us✓
Novela JuvenilJatuh cinta pada Grisha Kania adalah sesuatu yang selalu Gabriel lakukan dalam separuh hidupnya. Dengan mengamati gadis itu diam-diam, setidaknya Gabriel merasa cukup. Tetapi, ketika mereka bertemu di reuni SMA, semua tak lagi sama. Gabriel tidak b...