Epilog

2.3K 61 5
                                    

Telah sampai kita di ujung perjalanan. Tak apa, sejak awal kita tahu perjalanan ini ada untuk membawa kita sampai pada persimpangan. Lalu saat di persimpangan kita diharuskan memilih jalan masing-masing.

***

Setelah semuanya ....

Gris mengangkat wajah ketika telinganya mendengar suara derit kursi di depannya ditarik. Ia menemukan seorang pemuda berambut panjang sebahu, mengenakan kaus putih dan kemeja abu-abu dengan celana jins yang-ah, Gris harus menahan ringisannya melihat itu. Jinsnya tampak begitu lusuh, sobekan di area lututnya tampak besar dan kelak mungkin akan lebih besar lagi.

Pemuda itu tersenyum, jenis senyuman yang selalu Gris sebut sebagai senyuman yang menawan. Kacamata berbingkai kotak bertengger tenang di hidungnya yang mancung.

"Sudah lama?" tanyanya seraya melepas ransel. "Maaf, ya, bikin kamu lama menunggu."

Gris menyingkirkan tumpukan kertas yang tebal dan dipenuhi catatan dosen di beberapa lembarnya. Dia tersenyum tipis. "Nggak, kok. Aku juga baru saja datang."

Pemuda itu menyebutkan pesanannya ketika pelayan menghampiri meja. Kemudian, ia menatap Gris sambil membalas dengan senyum yang serupa, ia lalu menunjuk benda di dekat Gris yang sejak tadi menarik perhatiannya. "Sudah sampai mana progresnya?"

"Sudah daftar sidang," jawab Gris sekenanya.

"Nggak mau nanya gimana kabarku?" Gabriel menaikkan kacamatanya yang melorot. "Sudah tahun ke berapa ini? Dan ini pertemuan yang ke berapa kali?"

"Tahun kedua, pertemuan yang ketiga." Gris menundukkan kepala, lalu mengangkatnya setelah beberapa saat. "Kabarmu bagaimana? Skripsimu bagaimana?"

Dalam diam, tangan Gabriel yang ada di atas paha mengepal. Ini sudah tahun kedua, dan mereka hanya bertemu sebanyak tiga kali. Hebat sekali.

Minuman Gabriel akhirnya datang. Dan seketika dirinya tersadar tampilan jus alpukat milik gadis di depannya sudah tak lagi menarik, permukaan gelas kacanya tak lagi beruap. Itu menandakan bahwa gadis itu sudah lama berada di sini sebelum dia datang. Namun, Gabriel tersenyum kemudian. "Skripsiku mandet, sudah dapat judul tapi nggak di-ACC dosen sampai sekarang. Padahal aku sudah menyiapkan ucapan terima kasih untuk lembar pembukaan skripsiku nanti. Aku juga sudah menulis nama-nama yang akan aku masukkan di dalamnya. Tapi-yeah-apa boleh buat," cerocosnya panjang lebar, lalu mengangkat bahu.

"Kamu harus lebih semangat," balas Gris seadanya.

"Hm, terima kasih," jawab Gabriel sambil meneguk minumannya, "nanti undang aku, ya, kalau kamu wisuda. Aku mau lihat kamu pakai toga." Ia tersenyum.

Pembicaraan yang terjalin sangat tenang, cenderung hening. Masih sama seperti dulu, Gris tak banyak bicara. Gabriel pun turut merasa bingung harus mencari topik apa supaya kebersamaan mereka di kafe ini bertahan lebih lama. Ditatapnya gadis bersurai hitam sebahu itu, rupanya, Gabriel lupa menyadari bahwa potongan dan panjang rambut Gris berbeda dari yang terakhir kali mereka bertemu sembilan bulan yang lalu.

Sebelum berada di titik ini, mereka pernah asing untuk menyembuhkan luka masing-masing. Mereka sama-sama terluka. Tidak ada perbandingan untuk luka siapa yang paling parah, mereka sama-sama parah.

"Habis ini kita mau ke mana?" tanya Gabriel setelah cukup lama saling diam.

"Terserah. Memangnya kamu nggak sibuk?"

"Nggak terlalu, kok. Gimana kalau nonton?"

Gris menjawab sambil menatapnya, "Ide bagus."

"Pergi sekarang saja gimana?" Pemuda itu melepas kacamata lalu menyimpannya dalam tas. Setelah selesai membayar, ia membuka pintu mobil, membiarkan Grace masuk lebih dulu. Gabriel menyarankan supaya Gris meninggalkan mobilnya di sini, agar dirinya bisa menikmati lebih banyak waktu bersama gadis itu.

Before Us✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang