Saat kutemukan senyummu di ujung pencarian, seketika aku merasa semuanya sudah cukup. Aku merasa aku tak perlu lagi melakukan pencarian selanjutnya. Barangkali, bertemu denganmu adalah sebuah takdir yang menyamar menjadi kebetulan. Dan mencintaimu adalah sebuah kesibukan yang kurencanakan.
***
"Bener, nggak mau mampir ke tempat lain dulu?"
Gabriel Tirtanara sedikit kesulitan mendapatkan gadis yang satu ini. Bukan karena perjuangannya yang terlalu singkat-karena dengan gadis-gadis sebelumnya Gabriel tak benar-benar berjuang untuk mereka-atau karena Gabriel yang kurang merayu. Tetapi, gadis ini, berbeda. Sudah sejak awal Gabriel tekankan bahwa ia tak sama seperti gadis kebanyakan.
"Enggak, Gabriel. Tanya satu kali lagi aku tinggal kamu," tukas Gris. Lihat, ‘kan?
Gadis Apatis berjalan lebih cepat meninggalkan Gabriel yang melangkah lebih tenang dengan kedua tangan yang tenggelam di saku celana. Sejenak ia berhenti melangkah untuk memperhatikan gerak halus surai gadis itu yang melambai-lambai. Dia menyukai gadis dengan helai pirang atau cokelat, menurutnya, mereka lebih terkesan berani dan agresif. Selain warna rambut, Gabriel juga selalu mengencani gadis yang memiliki kulit sedikit lebih gelap, mereka tampak eksotis. Tetapi, Grisha Kania tak memiliki kedua kriteria itu.
Rambut Gris berwarna hitam. Surainya lurus dan halus. Warna kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung disertai mata yang bulat berbinar hitam tegas. Entah kenapa, saat ini, Gabriel lebih menyukai apa saja yang ada dalam diri gadis itu. Karena dia Gris, bukan gadis lain.
Gabriel tersenyum walau gadisnya tidak akan melihat. Kemudian, pemuda itu melangkah menyusul Gris yang sudah berdiri di samping pintu CRV miliknya.
"Buru-buru banget," celetuk Gabriel ketika sampai.
Gris berdecak. "Sekarang jam berapa? Janji sama papa untuk memulangkan aku jam berapa?"
Pemuda itu tertawa. Senyumnya terkembang lebar. Bekas luka itu seolah ikut melebar seiring dengan kedutan senyumannya yang semakin ke sini, entah kenapa, membuat Gris semakin tidak bisa meremehkan pesona pemuda itu.
Gabriel memijat pangkal hidungnya. Alisnya berkedut. "Sekarang jam sepuluh, aku janji sama Om untuk mengembalikan kamu pukul sebelas. Masih ada waktu satu jam."
"Kamu pikir jalan raya Jakarta lurus seperti jalan tol?" Mata Gris memicing menatapnya.
Iris tegas itu memikat. Sehingga Gabriel mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala Gris, lalu turun ke belakang kepalanya, dan terakhir berhenti di bahu gadis itu. Bisiknya kemudian, "Kamu nggak bisa banget bicara santai sama aku, hm?" suaranya rendah, sangat lembut.
Demi apa pun, Gris ingin mengutuk jantungnya sendiri karena telah berdebar dengan ritme yang sama sekali tidak tahu diri. Hanya karena Gabriel menatapnya lembut dan tangan pemuda itu yang berada di bahunya, seharusnya Gris tidak perlu bereaksi sedemikian rupa berlebihan.
Maka, Gris menurunkan tangan kekar itu. Kepalanya menoleh ke sekeliling. Perhatian pengunjung lain memang tidak sepenuhnya tertuju kepada mereka, tetapi, beberapa pasang mata dari para perempuan yang datang menatap Gabriel penuh kehendak.
Dan Gris memilih mengabaikan tanya Gabriel untuk segera masuk ke kursi penumpang mobil mereka. Ia memasang seat-belt dan meletakkan Dior-nya di pangkuan. Gris kemudian mengeluarkan ponsel ketika Gabriel sudah duduk di depan kemudi.
"Memangnya selama ini aku nggak santai?"
Gabriel menoleh cepat. Keningnya berkerut bingung. Benarkah gadis ini masih bertanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us✓
Novela JuvenilJatuh cinta pada Grisha Kania adalah sesuatu yang selalu Gabriel lakukan dalam separuh hidupnya. Dengan mengamati gadis itu diam-diam, setidaknya Gabriel merasa cukup. Tetapi, ketika mereka bertemu di reuni SMA, semua tak lagi sama. Gabriel tidak b...