Banyak kisah-kisah sedih di dunia ini, hanya saja tidak semuanya kelihatan.
***
Sebetulnya, Gabriel ingin semua ini segera berakhir. Ah, tidak ada sesuatu yang akan benar-benar berakhir. Biar bagaimanapun, masalah mereka ini suatu skandal yang mutlak. Yang pada dasarnya sudah tak perlu dipermasalahkan lagi sebab fragmennya sudah berlalu sejak lama, tetapi Gabriel menyimpan terlalu banyak perasaan kecewa dalam dadanya.
Dia harus bicara dengan Gian Tirtanara malam ini juga.
Lagi, pemuda itu menenggelamkan kepalanya di atas roda setir. Satu tangannya berada di atas paha. Napasnya memburu. "Damn it!" hardiknya.
Malam sudah semakin larut, Gabriel kembali menoleh ke arah rumah bercat biru yang ditinggali oleh gadisnya. Tak ingin menghabiskan lebih banyak waktunya menatap kekosongan yang tampak di depan sana, Gabriel menjalankan mobil. Sesekali ia menyugar rambutnya yang hitam dan mengerang frustrasi.
"Bisa gila gue kalau begini terus." Gabriel meremas bungkus rokok di tangannya. Ia mengumpat. Lalu turun di depan minimarket di pinggir jalan raya. Penampilannya sangat kacau. Berantakan bukan lagi sebutan yang tepat untuk menggambarkan kondisi rambut Gabriel hari ini. Pemuda itu masuk ke dalam minimarket dan membeli sebotol Pocari Sweet serta sebungkus Marlboro.
Ia tersentak saat seseorang menepuk bahunya. Sosok pemuda dengan wajah tirus dan rambut cokelat menatap Gabriel dengan senyum segaris. Gabriel mengernyitkan alis, ia ingat pernah melihat cowok ini di beberapa kesempatan di kampus. Namun, dia bukan anak teknik.
Cowok itu mengulurkan tangan pada Gabriel. "Bara," ucapnya.
Oh, tentu. Gabriel mengangkat alis seraya membalas uluran tangan yang entah bermakna apa. Matanya melirik dua bungkus mie instan dan sebungkus Gudang Garam di tangan cowok itu yang bebas. Lalu, Gabriel menarik tangannya kembali. "Anak FISIP?"
Bara tertawa sumbang. "Ya. Mau join? Kita merokok bareng di depan, sebentar." cowok itu sudah menghilangkan aura ramahnya dan berganti dengan tatapan santai dan intimidasi yang tertuju untuk Gabriel.
Namun, Gabriel tidak akan terintimidasi. "Sure." Gabriel mengedik santai. Lalu membayar belanjaannya. "Gue tunggu di luar." dan keluar dari minimarket.
Gabriel menyalakan selinting nikotin dan menghisapnya penuh kenikmatan. Pemuda itu mendesah ketika kepulan asap keluar dari hidung dan mulutnya secara bersamaan. Ia duduk dengan satu kaki yang berada di kursi sedangkan kaki yang lain tetap memijak paving blok. Ketika kursi di depannya menimbulkan bunyi derit halus, Gabriel mengangkat kepala.
Ia tidak tahu apa maksud cowok sialan ini mengajaknya bicara dan merokok bersama.
Bara mengangsurkan sebungkus Gudang Garam ke depan Gabriel setelah menyalakan sebatang untuk dirinya sendiri. "Siapa tahu mau nyoba."
"Thanks. Gue nggak menghisap yang lain selain Marlboro. Nggak selera." Gabriel berbangga diri dengan menghisap dalam-dalam batang Marlboro di antara sela-sela jemarinya.
Bara membuang abu rokoknya ke asbak. "Belakangan ini gue sering ngelihat lo jalan bareng sama Gris," kata Bara, ia terkekeh kemudian. "Gue nggak mikir cewek itu bakalan mudah akrab sama orang lain mengingat gue tahu betul gimana sifatnya. Apa yang lagi kalian rencanain di balik kedekatan kalian itu?"
Kepulan asap tipis terulur dari lubang hidung Gabriel. Mata hitamnya mengamati sosok Bara yang menjadi lawan bicaranya. Cowok itu tidak memiliki satupun kriteria sebagai anak teknik karena memang dia tidak berada di fakultas yang sama dengan Gabriel. Rambut cokelatnya yang tampak lebih lembut dari tekstur normal rambut seorang laki-laki itu jatuh ke dahinya yang sempit. Hidungnya mancung-sangat mancung. Dan bibirnya sangat tipis, merah muda, cenderung merah merona. Membuat Gabriel berpikir barangkali lawan bicaranya itu memakai polesan di bibir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us✓
JugendliteraturJatuh cinta pada Grisha Kania adalah sesuatu yang selalu Gabriel lakukan dalam separuh hidupnya. Dengan mengamati gadis itu diam-diam, setidaknya Gabriel merasa cukup. Tetapi, ketika mereka bertemu di reuni SMA, semua tak lagi sama. Gabriel tidak b...