Bab 8 : Satu Kursi, Kencan

632 59 13
                                    

Kau mengenalkanku pada cinta, akankah kau turut membawa luka ikut serta?

•~•

Gris tertegun.

Karena Gabriel laki-laki pertama yang memintanya untuk kencan. Entah jenis kencan macam apa, Gris tidak tahu. Seharusnya ia menanyakan ini kepada Gabriel, tetapi kelas Jurnalistik FISIP berangsur-angsur didatangi oleh mahasiswa-mahasiswa yang seangkatan dengannya.

Gris tidak berpengalaman dengan perasaan aneh semacam ini. Sebelumnya hanya pernah dengan Bara, tetapi juga tidak semendebarkan ini. Lagi pula, untuk apa juga Gris berdebar hanya karena ajakan kencan dari pemuda yang sudah beberapa kali membuatnya kesal setengah mati itu.

Sedangkan Gabriel menunggu jawaban Grisha. Ia itu masih berdiri pada bentangan jarak beberapa meter dari Gris. Tidak menjauh, tidak pula mendekat. Mereka berhadapan pada sejurus jalur bervaping blok, tetapi keduanya terdiam cukup lama.

Sampai Gabriel tidak tahan lagi. Maka, ia kembali bertanya, "Bagaimana dengan kencannya?"

Ajakan kencan ini benar-benar aneh. Tetapi, Gris tak tahan untuk tidak bertanya perihal kencan ini. Ia lalu mendekati Gabriel, berdiri tepat di depan pemuda itu dengan jarak yang telah terpangkas habis. Gris menatap Gabriel dengan benar, seketika ia sadar bahwa walaupun jerawat Gabriel tak sebanyak dulu, tetapi ketika wajahnya dipandangi secara baik-baik dengan jarak sedekat ini, bekas jerawatnya ternyata masih ada. Tetapi tidak banyak. Kulit putih pemuda dalam tatapannya itu sangat bersih dan terawat. Nyaman dipandang dan wajahnya damai dengan mata galak yang memancarkan sinar hitam tenang. Hal yang membuat Gris terlena begitu saja.

Tatapan Gris turun ke bibir pemuda yang ia sadari beroma Citrus itu. Satu lagi hal yang ia temukan di wajah Gabriel. Pemuda itu memiliki bekas luka panjang di antara sudut dan bibir bawahnya. Gris mengangkat tatapannya ke mata Gabriel, jika sebelumnya gadis itu selalu melindungi diri dengan sikapnya yang apatis, sekarang ia lebih lembut.

"Kamu ngajak kencan?" tanya Gris. Bekas luka itu menggoda untuk kembali diperhatikan oleh matanya. Ah, bukan hanya bekas luka, tetapi kesegaran Citrus terasa sangat cocok dengan penciumannya.

"Ya," jawab Gabriel. "Saat itu aku bilang, kita akan bertemu lagi kalau kamu mau. Nah, untuk kencan ini juga masih berlaku, 'kalau kamu mau'. Tapi, kalau kamu nggak mau, it's okay, aku nggak memaksa. Aku akan cari peruntungan lainnya."

Gris menyipitkan mata menatap Gabriel. "Mencoba peruntungan lain?"

Gabriel tersenyum. Seperti sebuah seringai, tetapi tidak licik. "Tentu kamu nggak akan menolak terus-terusan, 'kan?" balas Gabriel. Membuat Gris tertunduk setelahnya.

Pertama kali Gabriel melihat seorang Grisha Kania tertunduk. Pertama kali Gabriel melihat Gris tidak enggan terhadap orang lain. Rasanya ingin sekali Gabriel meraih dagu itu, lalu membawa wajahnya mendongak untuk bisa menatapnya. Tetapi, keinginan itu ia tahan. Belum saatnya, El, belum, tahan batinnya.

Kemudian, Gabriel mengembuskan napas panjang. Gris tak juga menjawabnya. Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana untuk tahu pukul berapa sekarang—karena ia tidak memakai jam tangan hari ini, lalu kembali menyimpannya.

Tanya Gabriel, pelan, tak ingin mengusik lawan bicaranya, "Kelasmu mulai jam berapa?"

Dan tanpa Gabriel meraih dagunya, atau meminta Gris untuk membalas tatapannya, gadis itu dengan sendirinya mengangkat kepala. Hanya saja Gabriel tak tahu bahwa kelas Jurnalistik bahkan sudah mulai sejak beberapa saat yang lalu. "Sebentar lagi," jawab Gris bohong. Padahal tidak ada artinya dia melakukan kebohongan ini hanya untuk membuat Gabriel tidak merasa bersalah karena sudah berhasil menahannya.

Before Us✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang