Bab 28 : Kekacauan

445 30 5
                                    

Aku tidak pernah mencintai orang lain sebagaimana aku mencintaimu.

***

“Gabriel nggak pulang dari kemarin, Ma?” tanya Gian sambil menarik kursi di meja makan.

Gian tahu dari Carita bahwa tempo hari Grisha Kania datang dan gadis itu sudah tahu hubungan yang sebenarnya dia miliki dengan Gabriel. Dari Carita juga, Gian tahu bahwa sejak Gabriel membawa Gris pergi meninggalkan mamanya yang belum selesai bicara hingga hari ini, pemuda itu tidak pulang dan tidak memberikan kabar.

Carita meneguk segelas air putih. Sementara Gatra yang sibuk menghabiskan nasi gorengnya turut mengangkat kepala. “Nggak. Dia juga hilang kabar.”

Gian mengusap wajahnya dengan tangan kiri sebelum bergerak mengambil sendok. “Kamu juga nggak dikasih kabar sama Gabriel, Ga?” tanyanya pada Gatra.

“Nggak,” jawab Gatra, “emangnya ada masalah apa sampe Gabriel ngilang dua hari kayak gini?”

Lalu, setelah Gatra bertanya hal itu, suasana menjadi hening. Keheningan yang akan benar-benar sunyi jika saja bunyi lintingan sendok dan kecapan makanan di mulut dihilangkan.

“Abangmu itu lagi patah hati,” kata Carita, berusaha menahan nada bicaranya tetap normal.

Alis Gatra berkerut menatap mamanya. “Gara-gara patah hati doang sampe kabur-kaburan gini? Bocah banget. Biasanya juga dia yang bikin anak orang patah hati,” celetuknya.

“Nggak sesederhana itu, Gatra.” Gian menatap Gatra. Putra bungsunya itu membalas tatapan dengan mata yang lebih lebar, alis yang terangkat dan bibir yang terkatup rapat.

“Ada apa, sih? Kenapa aku nggak tahu? Masalah Gabriel pergi ini apa ada hubungannya sama keluarga kita sampe Papa sama Mama kelihatan galau gitu?” Gatra terus mendesak dengan melemparkan lebih dari satu pertanyaan kepada orang tuanya.

Pertanyaannya tak segera terjawab. Ketiga orang itu kemudian terdiam. Gatra masih menunggu jawaban, Carita menyerahkan jawaban itu pada Gian, dan Gian terdiam memijit dahinya. “Kamu cari Gabriel ke apartemennya saja, lah. Kamu tanya saja langsung sama abangmu itu.”

“Yaelah,” Gatra berdecak. “Masalah begitu doang dibikin ribet. Emang selalu nyusahin orang si Gabriel ini.” Cowok itu bangkit seraya menggenggam kunci motornya. “Gatra berangkat sekarang, deh. Mama jangan galau-galau gini terus cuma gara-gara Gabriel,” ucap anak itu melihat mamanya yang lebih banyak diam sejak tadi, lalu beralih menatap papanya. “Papa juga, dihibur, dong, Mamanya. Nanti pulang sekolah aku cari Gabriel ke apartemennya. Kalau dia ada di sana terus ngelakuin hal yang enggak-enggak, aku gebukin dia ntar. Nanti foto dia yang babak belur aku kirim ke Mama sama Papa.”

“Gatra!” tegur Carita.

Gatra tertawa lalu berlari meninggalkan rumah. Saat hendak menjalankan motornya, Gatra mengerutkan alis. Patah hati? Masa, sih? Biasanya, kan, si Gabriel yang bikin anak cewek orang nangis-nangis abis dibaperin terus ditinggalin, batinnya.

Gabriel tidak mendengar suara Edgar lagi sejak subuh tadi. Sepertinya cowok itu sudah pergi dari apartemennya saat Gabriel masih berada di alam mimpi. Pemuda itu perlahan membuka mata dan langsung mendesah ketika merasa kepalanya luar biasa sakit dan berat. Ia memejamkan mata kembali. Setelah merasa lebih baik, Gabriel bangkit dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Saat kakinya memijak lantai luar kamar, Gabriel menemukan kekacauan di ruang tamunya. Kaleng-kaleng minuman dan botol-botol alkohol yang telah kosong bergelimpangan di lantai. Bungkus rokok turut berhamburan. Bahkan, ada beberapa botol alkohol yang tampaknya dipecahkan Gabriel tanpa sengaja kemarin.

Before Us✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang