Saat seorang laki-laki tak mampu menjadikanmu pilihan, ada dua kemungkinan yang terjadi; barangkali kamu sebuah tujuan atau hanya sebatas pelarian.
•••
“Hai.” Cowok jangkung berdiri menjulang di samping meja Gris. Gris meneliti penampilannya dari bawah hingga atas. Alisnya mengernyit berusaha mengenali. Cowok itu mengenakan celana jeans hitam dan kemeja lengan pendek balur-balur hitam dan putih. Rambutnya tersisir rapi ke samping kiri. Saat menatap Gris, alisnya terangkat bersamaan dengan bibir yang berkedut membentuk senyuman.
“Siapa, ya?” Gris menatap heran penuh tanya.
Lawan bicara Gris menarik kursi yang semula diduduki oleh Aruna lalu serta merta menyeruput minuman yang juga dimiliki oleh Aruna sebelumnya. Gris tahu walau lawan bicaranya sedang menyeruput minuman, di bibir tipis itu masih tersungging sebuah senyuman.“Edgar,” jawab Edgar. Menyingkirkan gelas minuman yang isinya sudah ia tandaskan.
Edgar membiarkan Gris membawa wajahnya sedikit lebih dekat untuk memperhatikan ukiran wajah yang ia punya. Sebab Edgar memang bersedia untuk ini, maka, senyumannya semakin tertarik lebar. Lelaki itu benar-benar memiliki tingkat kepercayaan diri yang terlalu tinggi.
Hal pertama yang ditemukan dari wajah Edgar adalah bola mata yang semakin ia perhatikan, semakin membawanya pada kedalaman yang entah akan sampai mana ia menyelami. Edgar memiliki mata cokelat yang indah, hangat, dan tenang. Tiba-tiba, si Cokelat menyentakkan wajahnya ke arah wajah Gris dan membuat gadis itu berjengit mundur.
“Edgar ... siapa?” Gris merasa familiar dengan nama ini. Namun ia kesulitan mengingat di mana mereka pernah berkenalan.
“Teman Gabriel, kita juga temenan, kok,” ujar Edgar. Gris selalu memperhatikan semua pergerakan yang dilakukan oleh cowok di depannya itu. Edgar mengeluarkan kotak persegi yang masih bersegel lalu mengetuk-ngetukkan salah satu sisinya ke telapak tangan. Masih berusaha menyempatkan menatap Gris, Edgar melongok ke arah tembok yang tertera beberapa larangan di kantin.
Kemudian, keduanya bertukar pandang. Seketika mereka sama-sama paham pada pikiran yang masing-masing keduanya sembunyikan.
“Astaga ...” Gris menggeleng-gelengkan kepalanya. Merasa deja vu dengan pertemuan ini setelah bertahun-tahun. “Kita teman SMP, ‘kan? Kamu masih merokok?”
Cowok itu mengedikkan bahu. “Iya. Bedanya, dulu pasif, sekarang aktif.” Ia terkekeh. “Kenapa?” Edgar mengantongi rokoknya saat tersadar bahwa kantin no smoking area. “Di sini nggak boleh merokok,” ujarnya.
Gris ingat dengan Edgar yang ini. Dia satu-satunya wanita yang ada dalam satu kelompok yang dibagi untuk mengerjakan tugas selama satu semester. Gabriel, Edgar, Ikrar dan Gris adalah salah satu kelompok yang disatukan oleh pilihan wali kelas mereka. Dan Gris satu-satunya wanita di sana. Kesalnya bukan main ketika Gris harus berada di lingkungan para laki-laki di depannya itu selama berbulan-bulan. Apalagi setiap mereka diberi tugas, semua tugas dibebankan kepada Gris. Sedangkan rekannya yang lain hanya menganggur.
Gris memicingkan mata. “Sudah tahu di sini nggak boleh merokok, kenapa masih membawa rokok ke sini?” sarkasnya.
Edgar tertawa terbahak-bahak. Ini memalukan. Hampir semua mata dari orang-orang yang ada di kantin menatap ke arah mereka. Bukan begitu seharusnya, yang benar adalah mereka menatap Gris seolah menelanjangi. Lalu seakan tahu apa yang ada dalam kepala mereka; karena nggak punya banyak teman cewek bikin Grisha mau-mau saja diajak ngobrol orang yang nggak dikenal, Gris memfokuskan pandangannya kepada Edgar.
Ini jawaban Edgar, “Bahkan ke gedung rektorat saja gue membawa rokok.” sambil meletakkan lengan kanannya di kursi, Edgar memandang ke sekitar—pada mata yang masih menelisik ingin tahu—lalu melotot. Mata-mata itu mulai meninggalkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us✓
Teen FictionJatuh cinta pada Grisha Kania adalah sesuatu yang selalu Gabriel lakukan dalam separuh hidupnya. Dengan mengamati gadis itu diam-diam, setidaknya Gabriel merasa cukup. Tetapi, ketika mereka bertemu di reuni SMA, semua tak lagi sama. Gabriel tidak b...