Gabriel tidak pernah menemui orang tua gadis yang dikencaninya. Dia hanya mengantar gadis itu pulang, berhenti di depan gerbang rumah, lalu melambaikan tangan kepada gadis yang diturunkannya setelah sebelumnya mengecup gadis itu sekilas.
Dulu, Gabriel tak suka jika gadis-gadis yang tertarik kepadanya bersikap terlalu agresif dan ingin selalu mendapat perhatiannya. Sungguh, Gabriel tidak suka. Baginya, gadis yang seperti itu terlalu merepotkan, terlalu membebani.
Penumpang Gabriel di CRV hitamnya boleh jadi berganti hampir setiap sekali seminggu. Dia mengencani gadis-gadis populer dari fakultas-fakultas di kampusnya. Namun, setiap kali gadis-gadis itu memintanya untuk masuk ke rumah, Gabriel selalu menolak. Baginya, dia memegang penuh kendali sebuah hubungan. Dan dalam konteks ini, dia mengatur dirinya atau gadis yang dikencaninya untuk tidak melakukan hal yang merepotkan itu; bertemu orang tua.
Karena kalau sudah bertemu dengan mereka, pertanyaan-pertanyaan yang didapatkannya akan sangat banyak. Termasuk; sudah berapa lama kalian berhubungan? Gabriel tidak bisa menjawabnya. Karena Gabriel mencium gadis-gadis tersebut tanpa mengatakan kata cinta, atau kata-kata manis semacamnya.
Namun, itu dulu.
Saat ini, Gabriel merasa semua yang ada pada dirinya telah berubah. Dia tidak lagi tergoda untuk mencoba berhubungan dengan gadis-gadis lain di luar sana sejak menemukan Gris. Grisha Kania itu ... seperti memiliki segalanya yang selama ini Gabriel cari dan tak ia temukan pada gadis lain. Karenanya, Gabriel akan membuat Gris selalu berada dalam kuasanya.
“Coba ngasih tahu dulu kalau mau datang. Jangan datang-datang seperti tamu yang nggak diundang begitu,” cetus Gris. Dengan pakaian wajibnya; sweater abu-abu dan celana jins hitam, Gris menyandang ransel berwarna senada dengan celananya. Gadis itu masuk ke dalam mobil, mengenakan seat-belt, membuka dasboard lalu memakai kacamata hitam. Sekarang pukul delapan pagi, dan di luar matahari bersinar lebih terik dari biasanya. Langit berwarna biru cerah. Gabriel melakukan hal yang sama supaya tidak silau saat menyetir.
“Kejutan, Gris,” sahutnya.
Gris tidak menggubris jawaban itu. “Hari ini aku kuis,” katanya.
“Sudah belajar?” Gabriel melirik Gris sekilas, ia lalu membelokkan mobil ke kanan. Ia mengetuk-ngetuk kemudi saat mobil mereka terjebak macet yang lumayan panjang. Terdengar bunyi klakson yang tak sabaran bersahutan. Gabriel mendengus. Sedangkan gadisnya menyandarkan kepala dengan mata yang terpejam.
“Gimana bisa aku belajar kalau aku kepikiran kamu dan mama terus tadi malam.”
Mata Gabriel membelalak. Diperhatikannya lama-lama kelopak mata gadis itu yang tertutup. Diam-diam, Gabriel menyeringai. Kalau dia menyadarkan gadis itu dari kata-katanya yang tercetus tanpa sadar, Gris pasti mengelak mati-matian. Bahkan, mulut manisnya itu bisa jadi akan mengeluarkan kata-kata pedas. Gabriel bergidik. Gadisnya sangat jarang seperti ini, maka, sebaiknya dia berpura-pura tidak sadar saja.
“Semoga kuisnya batal, deh,” kekehnya.
“Kok ketawa?” Posisi duduk Gris berubah menghadap ke arahnya.
“Ya, daripada tegang. Kamu perlu hiburan sedikit sebelum kuis,” jelasnya.
Sedikit demi sedikit, mobil mereka bisa berjalan. Gabriel mengambil kesempatan. Ia refleks menoleh saat Gris bertanya, “Kamu dan papa tadi membicarakan Bara, ya?”
Yang diingat Gris adalah laki-laki hampir cantik itu, rupanya. Bukan dirinya yang datang berkunjung ke rumahnya pagi-pagi buta. Bagus benar. Terima kasih banyak.
Sambil mendengus, Gabriel menjawab, “Mudah sekali ditebak, ya.”
Tawa ringan Gris terdengar. “Kamu bilang kamu takut aku berpaling ke dia. Siapa lagi selain Bara yang menggenggam kemungkinan besar jadi penyebab aku untuk berpaling dari kamu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us✓
Ficção AdolescenteJatuh cinta pada Grisha Kania adalah sesuatu yang selalu Gabriel lakukan dalam separuh hidupnya. Dengan mengamati gadis itu diam-diam, setidaknya Gabriel merasa cukup. Tetapi, ketika mereka bertemu di reuni SMA, semua tak lagi sama. Gabriel tidak b...