Bab 29 : Menginginkan

619 35 1
                                    

Dan kau masih saja ragu ketika dengan tanpa perhitungannya aku membuktikan seberapa besar aku menginginkanmu. Padahal seluruh rasa ini milikmu, kenapa kau masih saja ragu?

***

Sebesar apa pun masalah kita, sehancur apa pun hati kita, sekeras kepala apa pun kita meminta semesta untuk mengerti semua rasa sakit itu, dunia akan tetap baik-baik saja. Orang-orang di sekitar kita akan tetap tertawa sebagaimana mestinya. Segalanya berada pada tempatnya.

Gabriel selesai memarkir mobilnya di parkiran fakultas. Pemuda itu melepas seat-belt, tetapi tidak langsung melompat turun. Tatapannya tertuju pada aspal hitam yang tampak panas. Kemudian, ia menghela napas. Sebagai bukti bahwa dunia tetap baik-baik saja di atas patah hatinya, di lapangan hijau yang sejuk dan hijau di depan sana, para mahasiswa arsitektur tertawa-tawa sambil mengerjakan miniatur bangunan dan berbagai jenis maket lainnya. Mereka saja, mahasiswa arsitektur yang Gabriel yakini berada di tahun ketiga atau tahun terkahir masa perkuliahan masih bisa tertawa di tengah tugas dan tekanan-tekanan yang mereka rasakan.

Sementara Gabriel, mahasiswa teknik sipil tahun kedua yang tingkat kesulitan kuliahnya berada di bawah arsitektur, merasa dunianya akan hancur. Tugas-tugas ia abaikan, baik itu kelompok atau individu. Selama ini, ia sibuk mencintai Grisha Kania. Dan sekarang, ia sibuk patah hati karena gadis itu pula.

Hal tersebut membuktikan bahwa memang benar dunia tetap baik-baik saja. Waktu tetap berjalan dengan sebagaimana mestinya. Sialan sekali, bukan?

Langkah Gabriel yang lebar-lebar membawanya melewati lapangan hijau yang dikuasai oleh para mahasiswa arsitektur, menyeberangi jalur berpaving blok, sengaja melompati trotoar, hingga akhirnya sampai di gedung perkuliahan teknik sipil. Gabriel melirik jam tangannya, pukul 08:00. Dan lambaian tangan Ikrar menyambut kedatangannya di depan kelas mata kuliah Mekanika Tanah yang akan dimulai beberapa menit lagi.

"Udah seger, El?" Suara Ikrar menarik perhatian Edgar hingga cowok itu mengangkat wajah dari layar ponsel.

"Hai, Bos!" Edgar turut berseru, ia sudah menyimpan ponselnya di dalam saku. Lalu mengulurkan kepalan ke depan wajah Gabriel.

Gabriel menyatukan kepalan tangan kanannya ke tangan Edgar. "Ikrar ngabsenin gue, 'kan?"

"Ya, enggaklah, Codet. Enak ajak. Bolos, ya, bolos. Jangan ngarep absen jalan-"

"Tenang aja, absen lo jalan, kok," potong Ikrar tersenyum miring ke arah Edgar.

"Sialan, lo! Nggak bisa banget diajak bohong!"

"Gue no bohong-bohong club. Emangnya lo kerjaannya bohong terus, ingat, dunia udah mau kiamat. Kita ini manusia akhir zaman."

"Nggih, Datuk, nggih." Edgar membungkukkan badannya di depan Ikrar dengan gerakan berlebihan. Seolah-olah sedang menyembah.

Gabriel melihat dosen wanita berjalan ke arah mereka. Pemuda itu mengedikkan bahu ke arah pintu kelas dan berkata pada dua sahabatnya, "Masuk, Krar, Ed. Dosen udah dateng."

Layaknya anjing yang penurut pada majikannya, tanpa membantah ataupun menolak, mereka langsung menyeret kaki masuk ke dalam kelas. Atau, barangkali, mereka patuh bukan pada Gabriel, tetapi takut pada dosen wanita yang memiliki tatapan tajam dan suara sepatu hak tingginya yang menggelegar di seluruh selasar.

Seperti mereka, Gabriel pun turut masuk ke kelas. Saat membuka pintu, kepalanya menoleh ke belakang, ke gedung FISIP yang terlihat kecil di pandangan matanya. Jantung Gabriel berdebar semakin kencang. Ia lalu benar-benar masuk ke kelas dan menempati kursi paling belakang.

Biasanya, Gabriel mengantar Gris ke gedung fakultasnya terlebih dahulu dan memastikan dia masuk ke kelas sebelum Gabriel beranjak ke kelasnya sendiri.

Before Us✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang