Kamu ada, kamu nyata. Namun, ketakutanku menumbuhkan secercah keraguan, sebab aku takut jika benar kamu nyata tetapi perasaanmu hanya sebuah fatamorgana.
•~•
"Kencannya?" Gabriel melipat kaki dan meletakkan tangannya di sana.
"Kencan itu untuk apa?" Gris melempar tanya.
Gabriel menatapnya tanpa kata. Dan Gris membalas tatapan itu dengan keheningan yang sama.
"Untuk pendekatan, barangkali?" Gabriel mengangkat satu alis. "Atau jadi sepasang kekasih? Bagaimana menurutmu?" Pemuda itu serius saat mengatakannya.
Gris tidak mengerti dengan cara berpikir Gabriel. Gris sudah bersikap enggan kepadanya, tetapi pemuda itu malah semakin berjalan mendekat. Gris tidak memiliki pengalaman sama sekali mengahadapi laki-laki yang memintanya untuk kencan, atau meminta untuk memilikinya. Karena sikapnya yang enggan membuka diri untuk orang lain, Gris melewatkan masa remaja yang seharusnya mulai mengenal cinta. Bara sebagai pengecualian.
"Dengar," Gris menegaskan nada bicara untuk setiap kata yang diucapkannya, "Aku tahu kamu populer di kalangan gadis-gadis lain, bahkan sejak kamu masih jadi bocah SMP. Tapi, di mataku kamu sama sekali nggak seistimewa itu."
Gabriel menundukkan kepala, ia memberi jeda pada egonya yang terluka karena kalimat yang barusan ia dengar. Perasaan paling tinggi dari seorang laki-laki adalah ego. Dan ketika ada orang yang menyinggung ego mereka, para laki-laki akan merasa mereka berada pada titik terendah pergaulan.
Serta merta ketika Grisha Kania menganggap dirinya tidak istimewa, ah, atau dari sisi yang lebih sederhana, bahwa Gabriel tak ada apa-apanya di mata gadis itu, Gabriel tentu saja merasa tersinggung.
Tidakkah gadis ini mengerti bahwa memang benar Gabriel menyukainya sejak ia mengatakan gadis itu cantik?
Memang tidak. Karena Gabriel tidak pernah menjelaskan. Bagaimana gadis ini bisa mengerti tanpa penjelasan. Ya, kan?
Kemudian, setelah merasa cukup mengesampingkan egonya, Gabriel kembali mengangkat kepala. "Oh, ya? Kenapa banyak yang suka denganku?" sengau di suara Gabriel menandakan ia perlu minum.
Gris mengangkat satu alis. Yang Gabriel pikir hal itu tidak bisa dilakukan olehnya. "Karena kamu narsis!"
Gabriel tidak terima. "Aku? Narsis? Ke siapa aku narsis?"
"Barusan saja kamu sudah narsis, katamu, 'banyak yang suka denganku'." Gris tidak mengerti mengapa ia tak mampu mengalihkan pandang dari wajah pemuda itu barang sedetik saja. Kulit putih bersihnya yang memunculkan keringat tampak begitu memikat.
"Jadi, hanya karena aku narsis, kencan itu nggak akan ada?" Gabriel hendak meletakkan tangannya di paha Gris, tetapi ditahannya. Sehingga tangannya tergantung di udara. "Apalagi pendekatan kita. Begitu?" Dan Gabriel memilih meletakkan tangannya di lengan kursi yang diduduki oleh Gris.
Gris terusik dengan tangan Gabriel yang ada di sisi tubuhnya. Ia melirik lengan biseps itu. Gabriel mengenakan kemeja lengan pendek sehingga lengannya tidak tersembunyi. "Kenapa tanganmu di sini? Nggak ada tempat lain?" tukasnya.
Gabriel memilih abai. "Awalnya mau aku taruh di paha kamu. Tapi tanganku di sisi tubuhmu saja kamu marah. Apalagi di atas paha," jelas Gabriel. Ia tersenyum miring.
"Modus," sembur Gris. Tak tahan lagi ia untuk terus menatap Gabriel. Mata itu terlalu tenang saat menatapnya, membuat Gris tidak tahu harus bertingkah seperti apa.
Lalu, perihal ajakan kencan itu, Gris memberikan jawaban, "Nggak ada yang namanya kencan."
Air muka Gabriel berubah keruh. "Kenapa hanya kencan sesulit itu buatmu? Kita, kan, teman lama. Hitung-hitung reuni. Kenapa enggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us✓
Teen FictionJatuh cinta pada Grisha Kania adalah sesuatu yang selalu Gabriel lakukan dalam separuh hidupnya. Dengan mengamati gadis itu diam-diam, setidaknya Gabriel merasa cukup. Tetapi, ketika mereka bertemu di reuni SMA, semua tak lagi sama. Gabriel tidak b...