Ini bukan tentang bagaimana mataku tak bisa terpejam, tetapi tentang bagaimana marah di hatiku yang tak sanggup redam.
***
Gabriel tidak tahu seberapa sulit Gris tertidur setelah yang terjadi sore kemarin.
Lalu, Gris tidak tahu bahwa akan sesulit ini matanya terbuka setelah berhasil tidur selama dua jam di ujung malam. Gadis itu membuka matanya dengan sedikit paksaan. Lekas ia membersihkan diri dan bersiap pergi ke kampus. Ketika ia sampai di ruang makan, papanya sudah duduk di kursi biasa—tempat yang selalu menjadi tempatnya duduk—dan menyesap segelas teh dalam cangkir kotak berwarna putih.
Pagi ini, Gris tidak mampu menarik senyumnya. Ingin sarapan, tetapi tidak ada rasa. Ingin menyapa papanya, tetapi tidak ada kata yang bisa diucapkannya.
“Kamu baik-baik saja, Gris?” tanya Wira.
“Nggak baik-baik saja, Pa.”
Wira meletakkan roti yang belum habis dimakannya ke dalam piring. Wira menggeser kursinya mendekati Gris, lalu membelai rambutnya. “Ada apa?”
“Kami—aku dan Gabriel, sudah tahu kalau ternyata kami satu ASI. Aku—”
Wira mengusap wajahnya dengan gerakan kasar. Napasnya berkejar-kejaran. Pada akhirnya, semuanya sampai.
“—Putus asa dengan hubungan kami, Pa. Kenapa kami seperti ini?”
Melihat putrinya mulai terisak, Wira langsung merengkuh tubuh kecil itu ke dalam dekapannya. Berulang kali Wira mengucapkan kata maaf pada Gris dan menenangkannya. Gris mencium aroma woody dan cengkeh dari papa yang mendekapnya. Gadis itu memejamkan mata, mulutnya terkatup rapat guna menahan isakan yang memaksa untuk terus keluar.
Setelah merasa lebih tenang, Gris menarik kepalanya dari dada Wira. Ia menarik selembar tisu lalu menyapu wajahnya yang basah karena air mata. “Aku mencintai Gabriel, Pa,” ujar gadis itu dengan suara isak yang masih tersisa.
Wira mengusap bahu Gris. “Ini alasan kenapa waktu itu Papa bilang bahwa kalian tidak ditakdirkan untuk berpasangan.”
Seolah tidak ingin berhenti, air mata Gris mengalir lagi. Diimpit dengan rasa sesak dan putus asa yang tak bisa ia tolak, Gris menjatuhkan kepala ke atas meja. Tangannya memukul-mukul tempat disajikannya makanan-makanan itu dengan tangisan yang terus mengiringi. “Kenapa seperti ini, Pa?!”
Hati Wira terasa retak melihat putrinya satu-satunya menangis. Sepenuhnya dia tahu bahwa Gris salah telah menjatuhkan hati kepada pemuda itu, Gris salah jika mempercayai akan merestui mereka. Hanya saja, Wira tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, ia mengusap kepala Gris lembut-lembut, membelai rambutnya, mengecup samping kepalanya.
“Papa minta maaf, Sayang,” bisik Wira lirih.
Gris tidak menjawab, menciptakan keheningan yang membekukan di ruang makan itu.
⛅
Gris melirik jam tangan di pergelangan kirinya, langkahnya gegas menuruni tangga. Hari ini dia memiliki jadwal kelas pukul setengah sembilan dan Gris tidak ingin terlambat. Sudah cukup dia melewatkan tiga mata kuliah kemarin, untuk hari ini, Gris tidak akan menghindar lagi.
Di ruang duduk, Gris menemukan papanya yang tengah menatap layar laptop dengan wajah serius. Maka, panggilnya, dengan hati-hati, “Papa.”
Hanya hening yang terasa sampai Wira mengangkat kepala dan menyuruh Gris duduk di sampingnya. Wira menyingkirkan pekerjaannya lalu beralih menatap Gris sepenuhnya. “Papa mohon maafkan Papa, Gris. Maafkan Papa karena sudah menyembunyikan ini dari kamu. Maafkan Papa dan mama,” mohonnya, matanya mulai berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us✓
Teen FictionJatuh cinta pada Grisha Kania adalah sesuatu yang selalu Gabriel lakukan dalam separuh hidupnya. Dengan mengamati gadis itu diam-diam, setidaknya Gabriel merasa cukup. Tetapi, ketika mereka bertemu di reuni SMA, semua tak lagi sama. Gabriel tidak b...