Aku juga nggak mau meninggalkan kamu, Gris. Kecupan Gabriel tertahan di pipi Gris. Kedua matanya terpejam. Gris dapat merasakan napas memburu Gabriel di wajahnya. Perlahan, bibir pemuda bergeser ke sudut bibirnya. Kali ini, Gabriel membuka mata dan mereka bertatapan. Tangan pemuda itu naik ke belakang tengkuknya, telapaknya yang besar mampu memberikan rasa hangat dan ibu jarinya mengusap penuh kelembutan pipi Gris yang tampak putih pucat di tengah suasana gelap di mobil mereka.
“Apa ini yang kamu mau?” Gabriel bertanya ambigu.
“Hm?” Gris menjawab dengan gumaman sebab ia tidak mengerti.
“Kamu mau aku di sini lebih lama?” Gabriel memperjelas. Wajah mereka kini sama sekali tak memiliki jarak.
“Aku mau kamu nggak pergi dari aku,” jawab Gris. Seolah menginginkan sesuatu yang sama setelah menatap kilat hasrat di mata Gabriel, Gris mengalungkan lengannya di leher pemuda itu. Pun, dengan Gabriel, tangannya semakin hangat menangkup sisi wajah Gris dan tangan yang lain merengkuh pinggangnya erat-erat.
Gabriel mengambil bagiannya di saat yang tepat. Dia melabuhkan ciuman halus di bibir Gris yang tipis dan merah, bibirnya berdiam lama menunggu respons dari gadisnya. Namun, gadis itu memberikan izinnya. Gris memejamkan mata. Perlahan, Gabriel bergerak di atas bibir Gris yang terasa manis. Ciuman itu lembut, tidak terburu-buru, penuh perasaan dan kasih sayang tak terhingga disalurkan oleh Gabriel melalui pagutan bibirnya yang menguasai Gris.
Gris mendesah tertahan, ia terkejut. Gris tidak akan mengatakan bahwa ia tidak tahu seperti apa rasanya sebuah ciuman, dia tidak naif. Gris pernah berciuman sekali dengan Bara meskipun didasari oleh kekhilafan semata. Namun, ciuman Gabriel jauh berbeda dengan ciuman Bara. Gabriel mengenalkannya pada hasrat berisi kelembutan, sedangkan Bara selalu mengedepankan hasrat keinginan yang memburu.
Sedikit demi sedikit, di antara sadar dan tidak sadar, Gris membuka mulutnya. Membuat Gabriel memiliki kesempatan untuk memasukkan lidahnya ke dalam rongga mulut gadis itu yang semakin manis, begitu membuatnya candu. Ketika lidah Gabriel akhirnya menemukan teman bermain, pemuda itu berhenti. Ia mendengar Gris berkata dengan gumaman tertahan, tetapi mata gadis itu masih terpejam. “Aku menyayangimu, Gabriel,” gumam Gris.
Untuk yang pertama kalinya, Gabriel mendengar kata itu diucapkan oleh mulut manis gadis dalam kuasanya. Perasaan Gabriel menghangat jauh lebih baik daripada sebelumnya. Sebagai pengganti bibirnya di bibir Gris, Gabriel mengulurkan tangannya ke bibir bawah gadis itu yang mulai bengkak karena ulahnya. “Bibir manis ini bilang apa tadi?” bisik Gabriel, pelan, terkesan sensual.
Barangkali, sensual hanya bagi Gris.
Euforia perasaan hangat yang menyusup dari dada hingga ke perutnya itu membuat pipi Gris memerah. Gadis itu mengalihkan tatapannya dari Gabriel ke arah kemudi mobil, tetapi tangannya masih terkalung di leher pemuda itu.
“Aku nggak bilang apa-apa.” Gris merasakan kedua tangan Gabriel di pinggangnya.
“Kamu bilang sesuatu tadi, aku mendengarnya.”
“Memangnya kamu dengar aku bilang apa?“ Kepala Gabriel menunduk. Napas hangat pemuda itu dirasakan Gris berada sangat dekat dengan kulit lehernya.
“Tadi kamu bilang kamu sayang sama aku. Aku nggak salah dengar, ‘kan?” Kali ini dapat Gris rasakan kecupan basah di lehernya. Gris melenguh. Tetapi tidak menjauh.
“I-iya ...”
“Iya apa?”
“Kamu nggak salah dengar.”
“Dengar apa?” Tangan Gabriel yang semula berada di pinggang Gris kini berjalan naik ke pundaknya dan menarik dirinya lebih dekat.
Gris membuang napas kasar. Kini Gris menyadari sesuatu, bahwa saat bersama Gabriel, paru-parunya selalu membutuhkan lebih banyak oksigen. Pemuda itu terlalu banyak kejutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before Us✓
Teen FictionJatuh cinta pada Grisha Kania adalah sesuatu yang selalu Gabriel lakukan dalam separuh hidupnya. Dengan mengamati gadis itu diam-diam, setidaknya Gabriel merasa cukup. Tetapi, ketika mereka bertemu di reuni SMA, semua tak lagi sama. Gabriel tidak b...