10

6.9K 364 12
                                    

Seorang gadis terus saja berlari. Dia tidak peduli dengan pandangan dari orang-orang yang berlalu lalang di sepanjang jalan. Kakinya bahkan sedikit lecet dan kotor juga karena hujan beberapa jam yang lalu selesai turun.

Niat hati ingin mengunjungi sang kekasih malah berakhir seperti ini. Awalnya Ovi hanya ingin memastikan jika semalam mimpinya tidak menjadi kenyataan.

“Pokoknya kita putus!” kata Ovi dengan lantang serta raut muka yang memerah. Reon yang tidak terima diperlakukan seperti ini pun segera meminta penjelasan kepada gadis itu.

“Ralat perkataan kamu barusan,” kata Reon dengan penuh penekanan.

“Nggak!”

Dengan keadaan menahan marah, pemuda ini membawa Ovi ke tempat yang sedikit privat, di dalam ruangan kantornya. Dan dengan sedikit kasar, dia melempar gadis itu ke sofa yang kebetulan ada di sana. Gadis itu sedikit meringis, tetapi ingin tetap mencoba mempertahankan kemarahannya.

“Coba kamu bilang sekali lagi,” perintah Reon.

“Aku mau kita putus,” tekan Ovi tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Sedetik kemudian Reon tertawa kencang, mengundang tanda tanya besar di kepala Ovi. Apa Reon gila karena udah gue putusin? batin Ovi.

“Kamu kenapa ketawa, sih! Oke, sekarang kita udah putus. Aku dan kamu nggak ada hubungan apa-apa lagi. So? Good bye,” kata Ovi yang segera beranjak dari sofa dan beralih menuju ke arah pintu mencoba meninggalkan Reon yang menggila.

“Sekali lagi kamu melangkah keluar dari ruangan ini, aku pastiin besok kita sudah jadi suami istri,” lirih Reon dengan penuh penekanan dan masih mampu didengar jelas oleh Ovi. Lantas, gadis itu pun seketika berhenti. Suami? Itu artinya mereka menikah? TIDAKKK!!

Dia pikir mimpi itu hanyalah bunga tidur yang tidak perlu ia khawatirkan. Namun, mungkin ini adalah pertanda. Gadis ini berhenti sejenak menetralkan detak jantung dan napasnya. Sesekali dia menoleh ke belakang untuk memastikan jika Reon tidak mengejarnya. Mengejarnya? Dia tidak yakin jika pemuda itu akan mengejarnya, mungkin Reon masih asyik dengan Alifia.

“Mbak, ruangan Pak Reon di mana, ya?” tanya Ovi langsung kepada seorang wanita yang kebetulan menjaga meja resepsionis. Wanita bermake-up serta rambut disanggul itu pun memperhatikan penampilan gadis yang berada di depannya. Celana jeans, dan hodie berwarna pink serta sneakers yang dipakainya sudah mendiskripsikan jika gadis ini bukanlah seorang pekerja. Mungkin seorang pelajar SMA atau mahasiswi. Mahasiswi mencari Reon? Untuk apa?

“Maaf, Mbak, apa sudah buat janji?” tanya wanita itu balik dengan nada ramahnya.

Ovi menggaruk tengkuknya pertanda dia bingung dan gugup. “Belum,” jawabnya jujur. Toh dia mendadak ke sini hanya untuk memastikan mimpi itu tidak menjadi kenyataan. Ya, Ovi akui jika selama berpacaran dengan Reon, dia belum pernah ke kantor kekasihnya itu. Salahkan saja Reon yang sama sekali tidak mengajak gadis itu ke sana. Padahal jika Ovi lihat, kantor pemuda itu bagus dan nyaman, namun kembali lagi seperti pemiliknya, masih ada kesan dingin dan horor. Horor? Reon memang horor di mata Ovi.

“Kalau begitu kau bisa buat janji dulu ke sekretaris Pak Reon. Atau jika dalam keadaan mendesak bisa hubungi sekretarisnya langsung.”

Ribet banget cuma mau ketemu Reon doang, batin Ovi dongkol. Namun, mau tidak mau dia mengiyakan perkataan wanita itu. Setelah diberitahu di mana ruangan Reon, Ovi segera berlalu dan mencoba mengingat kembali perkataan resepsionis itu.

“Naik lift lantai tiga, belok kanan ruangan paling ujung, pintu warna hitam,” lirih Ovi.

Gadis itu menghembuskan napasnya, mencoba menetralkan kembali napasnya. Oh iya, dirinya diminta untuk membuat janji lebih dulu. Dan wanita itu tadi bilang jika sekretarisnya biasanya ada di depan ruangan tempat Reon berada. Namun, Ovi lihat meja dan kursi di sana kosong.

REON SI DEVIL ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang