Ovi memasuki area kampus untuk pertama kalinya. Setelah beberapa hari tidak ke kampus rasanya menjadi aneh. Apalagi ketiak gadis ini mendapat tatapan aneh dari teman-teman kampusnya. Apa ada yang salah dengan penampilannya hari ini? Lantas Ovi pun mengecek pakaian yang melekat di tubuhnya. Semuanya tampak utuh dan baik-baik saja.
Brukkk
Ovi tersungkur ke tanah. Kakinya perih ketika bergesekan dengan aspal. Ini masih di halaman kampus yang beralaskan aspal. Gadis itu mendongak dan mendapati tiga orang mahasiswi yang berpakaian ketat dan make up tebal. Ovi tidak mengenal mereka dan sepertinya ketiganya adalah senior di sini.
"Ups! Sorry," kata salah satu dari mereka dengan senyum mengejeknya. Ovi pun maklum, tindakan seperti ini sering terjadi. Penindasan antar senior ke junior.
"Gak apa-apa, Kak," jawab Ovi sambil berdiri dan membersihkan sisa tanah yang menempel di kakinya. Perih sedikit di sana.
"Lo Ovi, kan?" kata gadis lainnya sambil menunjuk Ovi. Lantas gadis ini mengangguk membenarkan dan seketika dia mendapat tatapan aneh dari ketiga seniornya. Menatap seseorang dari ujung kepala hingga kaki bukanlah tindakan yang baik. Itu sangat tidak sopan, bukan?
"Kenapa, Kak?" tanya Ovi mencoba ramah. Lagi pula dia tidak melakukan kesalah, bukan?
"Gak apa-apa. Gue dengar-dengar bokap lo kesandung kasus korupsi bukan?"
Ovi menegang ketika mendengar pernyataan dari seniornya ini. Seketika mukanya menjadi pucat pasi. "Lah, dia anaknya?" tanya salah satu teman gadis itu. Ovi hanya menundukkan kepalanya.
"Cewek kayak begini yang disukai Reon? Yang benar aja!" Ada nada kesal dalam suara salah satu gadis di sana yang memandang Ovi angkuh menilai gadis ini dari atas hingga bawah.
"Maksud Kakak apa?"
"Sok polos banget. Gue pikir, nih, ya, pacarnya Reon itu wah banget. Berasal dari keluarga kaya raya. Eh taunya yang digosipin anak-anak itu bener adanya. Cewek kayak begini masih aja ada di hidup Reon. Bahkan nih ya kalau mereka disandingin udah kayak majikan sama pembokat."
Ovi hanya dia diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dan dia tidak memiliki jawaban yang pas atas tindakan dari senior-seniornya ini.
"Guys, apa kita laporin ke rektor aja? Gila aja anak koruptor kuliah di kampus kita. Bisa aja, kan, dia ikutin jejak bokapnya," ujar gadis itu dengan maksud berbisik-bisik kepada kedua temannya namun masih didengar oleh Ovi. Lantas gadis ini pun tersentak kaget.
"Kak! Maksud Kakak apa?"
Ketiga gadis itu pun menoleh dan kembali memandang Ovi dengan tatapan remehnya. "Lo itu gak pantes ada di kampus kita," ungkap gadis pertama.
"Bahkan lo pun gak pantas ada di hidup Reon," jelas gadis kedua.
"Benalu kayak lo itu bisanya cuma jadi sampah. Sampah itu harus ada di tempatnya, bukan malah di sini." Ucapan sadis dari ketiga gadis di depannya membuat mata Ovi menjadi berkaca-kaca.
Sampah? Apa dia serendah itu? Bahkan bukan keinginannya untuk menjadi seperti ini. Dan bukan keinginannya juga untuk selalu ada di dekat Reon.
"Kak, kata-kata yang Kakak keluarkan itu jahat banget."
"Jahat? Coba lo pikir apa pendapat orang-orang kalau ada anak koruptor kuliah di sini?"
"Papa aku bukan koruptor, Kak! Semua itu fitnah," tegas Ovi. Dia mengenal sang papa, dan dia tidak percaya jika papanya melakukan ini semua. Bukannya iba, ketiga gadis ini malah tertawa terbahak-bahak mendengar pembelaan dari juniornya.
"Susah memang ngomong sama orang beginian. Guys, cabut. Gak penting."
Ketiga gadis itu meninggalkan Ovi yang nampak berkaca-kaca. Sedetik kemudian gadis itu berlari memasuki area kampus. Tidak, lebih tepatnya dia berlari ke taman belakang kampus yang memang sering kali sepi di saat jam seperti ini. Ovi duduk di bangku teman dengan seenggukan. Dia mengusap kasar jejak air mata di pipinya yang terus mengalir tanpa henti. Dia kesal, kesal kepada mereka yang berani menindas orang lain. Dan dia juga kesal kepada dirinya sendiri karena tidak bisa melakukan apa pun.
"Pa, Papa gak akan lakuin itu, kan?" lirih Ovi yang masih sesenggukan membayangkan jika di sisinya masih ada sang papa. "Ovi percaya Papa adalah orang yang baik. Papa gak akan setega itu melakukan tindakan yang dibenci Tuhan. Aku percaya sama Papa," lanjutnya sambil menatap langit putih dan biru di mana sang papa telah tenang di sana.
"Terkadang kita harus menutup telinga untuk tidak mendengar hal-hal yang membuat hati kita sakit," ucap seseorang yang membuat gadis ini terkejut.
"Roni?"
Pemuda itu terkekeh, kemudian mengambil tempat tepat di samping Ovi duduk. Memandang gadis itu sejenak, kemudian menatap lurus ke depan. "Lo gak usah pikiran apa kata orang, Vi. Ini hidup lo, bukan hidup mereka. Ketika kita berada di atas, orang-orang kadang ingin sekali menjatuhkan kita. Apalagi ketika kita berada di bawah, orang-orang itu akan semakin gencar membuat kita jauh terpuruk hingga tak tersisa."
Ovi hanya diam, dan membenarkan perkataan Roni. "Yang bisa kita lakukan adalah tutup telinga. Menjadi tuli itu perlu, asal lo tau aja. Orang tuli itu enak. Gak peduli orang ngomong apa karena dia memang tuli," lanjut Roni yang membuat Ovi terkekeh geli. "Gue senang lihat lo ketawa. Ovi yang gue kenal itu kuat banget, gak cengeng kayak begini," jelas Roni sambil menghapus jejak air mata gadis itu.
Ovi pun tersenyum kembali. Benar apa kata Roni, dia harus menjadi tuli sekarang. Namun, apa dia bisa menulikan indra pendengarannya? Dengan keadaannya yang seperti ini akan ada banyak orang mencemoohnya.
"Thanks, Ron. Lo temen gue yang paling baik," kata Ovi yang terdengar tulus membuat pemuda itu menjadi terkekeh geli.
"Udah, lo udah sering banget ngucapin terima kasih ke gue. Harusnya gue yang bilang makasih ke lo. Seenggaknya ada satu temen gue yang terlihat apa adanya tanpa menyembunyikan apa pun, dan itu elo, Vi."
Ovi tidak bisa menahan sudut bibirnya untuk tersenyum. Dan hal itu menular kepada Roni. "Gak usah senyum kayak gitu, Vi," kata Roni tiba-tiba yang membuat Ovi mengernyit bingung. "Gue bisa diabetes kalau lihat senyum lo."
"Anjir! Hahah bisa ae Bambang!" Mereka pun tertawa bersama tanpa menyadari sosok lain yang tengah mengepalkan tangan keras. Dia susah payah mencari gadis ini malah mendapati pemandangan seperti ini.
Reon, pemuda itu menyeringai, dengan langkah tegas dia mengampiri kedua orang itu yang masih saja tertawa bersama seakan dunia milik berdua.
"Ovi."
Singkat dan dalam, namun membuat nama gadis yang disebutkan namanya itu pun menjadi tegang dan kaku. Roni tahu jika perubahan sikap Ovi karena kedatangan Reon.
"Re ... on?"
Mata Ovi membola sempurna. Tidak, kenapa harus hari ini dia bertemu pemuda itu. Dia belum siap menemui Reon dalam keadaan seperti ini. Reon memandang tempat Roni dengan sinis, dan Roni pun tahu dia harus segera pergi.
"Vi, gue pergi dulu, ya. Dah." Roni segera beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Ovi yang masih terdiam kaku. Bahkan gadis itu pun tidak tahu jika diam-diam Reon mendekatinya.
"Sudah cukup main petak umpetnya."
"Re ... a-aku ga -"
"SUDAH CUKUP, VI!" bentak Reon dengan gilanya. Bahkan gadis ini pun sampai menutup matanya karena mendengar teriakan kekasihnya ini.
"Re, aku -"
"Aku sudah cari kamu ke mana-mana, tapi kamu malah tertawa bahagia dengan cowok itu? Maksud kamu apa? Maksud kamu apa hah!" teriak Reon tepat di depan Ovi. Ovi tersentak terkejut, dia tahu Reon pasti akan marah. Bahkan sudah sepantasnya dia mendapatkan ini semua.
"Re, aku -"
"Ikut aku!"
Bukan pertanyaan, tapi perintah. Dan Ovi pun hanya pasrah ketika Reon menyeretnya ke area parkiran kampus. Dan Ovi juga pasrah ketika sekali lagi dia harus bolos kuliah.
Kira-kira Reon mau bawa Ovi ke mana?
Thanks to 11k pembaca 💃
KAMU SEDANG MEMBACA
REON SI DEVIL ✔
Teen Fiction[[ SPIN OFF PAIN ]] Sudah tersedia sequel-nya Sebelum kalian baca kisahku, ada beberapa pertanyaan penting yang cukup kalian jawab dalam hati. Apakah jatuh cinta itu perlu? Bagaimana kalau orang yang kamu cintai bukan memperlakukanmu selayaknya pasa...