Brakkk!!
Gebrakan pintu membuat Ovi terkejut. Gadis itu hanya berdiri kaku di dekat ranjang Reon. Ya, pemuda itu membawanya ke rumahnya. Ovi sudah berontak tidak mau mengikuti pemuda ini, namun Reon memaksanya. Membawanya dengan paksa, bahkan pergelangan tangan Ovi sedikit membiru karena kuatnya cengkeraman dari Reon tadi.
"Re, maaf, aku -"
"Aku gak akan pernah lepasin kamu, Vi. Dengarkan itu." Dingin dan dalam. Reon kembali seperti dulu.
"Re, beri aku kesempatan untuk jelasin," pinta Ovi mencoba memohon kepada pemuda itu. Reon menutup matanya sejenak, mengatur napas dan emosinya agar tidak sepenuhnya keluar di depan gadis ini. Dia tidak ingin lepas kendali lagi.
"Papa sudah gak ada," ujar Ovi yang sudah sangat diketahui oleh Reon. "Aku dan Bunda diusir dari rumah. Saat itu aku gak tau harus lakuin apa, hingga Aldo datang. Dia -"
"Kenapa kamu gak hubungi aku?!" potong Reon dengan murka.
"A-aku -"
"Takut? Kamu takut kalau aku gak akan terima keadaan kamu? Iya? Iya, bukan?" potong Reon yang sepertinya sudah sangat diketahui oleh pemuda itu. Ovi hanya menunduk dalam, dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Karena pernyataan dari pemuda ini memang benar adanya. Dia terlalu takut untuk bersanding dengan Reon.
"Tiga tahun. Tiga tahun kita bersama dan kamu masih meragukan perasaan aku?" lirih Reon yang membuat gadis itu mengangkat kepalanya terkejut. Bukan maksud dia seperti itu.
"Bu-bukan begitu, Re. Aku ... aku -"
"MEMANG ITU YANGA DI PIKIRAN KAMU, VI!" teriak Reon menusuk gendang telinga.
"Re, jangan teriak-teriak nanti tetangga pada denger," kata Ovi lirih.
"Aku gak peduli!"
"Kamu kenapa, sih, Re, kasar seperti ini. Kamu terus-terusan teriak kalau lagi marah. Apa kamu gak bisa kendaliin emosi kamu sedikit pun?" ungkap Ovi yang dengan terang-terangan menunjukkan rasa ketidaksukaannya dengan sikap kekasihnya itu.
Reon tertawa pelan. "Aku seperti ini karena kamu. Empat hari. Bisa kamu bayangkan betapa gilanya aku selama empat hari ini? Coba kamu bayangkan, Vi!"
Ovi memandang Reon sendu. Dia hanya takut kalau bertemu pemuda itu akan membuatnya semakin rumit. "Maaf." Hanya kata itu yang bisa gadis ini ucapkan.
"Kata maaf gak akan cukup menebus rasa khawatir dan frustasinya aku," jawab Reon cepat namun terdengar dingin.
"A-aku ... aku ...."
"Tinggal di sini dan jangan pernah pergi lagi." Itu sebuah perintah, namun Ovi menggeleng tidak setuju. Cukup, dia tidak ingin merepotkan siapa pun. Apa kata teman-teman kampusnya jika mengetahui bahwa mereka tinggal satu atap? Nanti akan semakin banyak badai yang menerpanya. Dia hanya ingin kuliah seperti biasa dan lulus dengan lancar.
"Nggak, Re. Jangan gila."
"Ya, aku memang gila. Gila karena kamu."
"Berhenti egois, Re. Kamu gak bisa mendapatkan segala yang kamu inginkan. Berhenti bersikap seperti ini," ucap Ovi lebih berani. Dia harus segera menyadarkan pemuda ini bahwa semua tindakannya salah. Tak semua hal yang dia inginkan harus terwujud, bukan?
"Aku bisa. Dan selamanya akan bisa." Keras kepala dan tak ingin dibantah pun sudah melekat pada diri Reon. Dari dulu dia selalu mendapatkan apa yang dia mau. Dan untuk Ovi, dia akan selalu mendapatkan gadis ini.
"Cukup berdebatnya untuk hari ini. Lebih baik kita istirahat," perintah Reon yang membimbing Ovi untuk ke ranjang tempat tidurnya.
"Nggak! Aku mau pulang!"
"Kamu sudah pulang, Vi."
"Bukan! Ini bukan rumah aku, Re. Berhenti melakukan tindakan sesuka kamu."
Reon meraup wajahnya kasar. Tidakkah gadis ini tahu jika dia butuh istirahat? Terlalu banyak memikirkan Ovi beberapa hari membuat jam tidurnya hilang hanya untuk memikirkan gadis itu. Reon pun berjalan mendekati gadisnya, membuat gadis itu gugup mencoba menghindar.
"Berhenti! Jangan mundur! Sekali lagi kamu mundur, kamu akan tanggung akibatnya." Ancaman yang selalu mempan untuk membuat gadis itu bungkam dan terdiam bak patung. Ovi pasrah, bahkan ketika pemuda itu memeluknya dengan erat, dia hanya diam membisu.
"Aku rindu kamu. Tidakkah kamu tau seberapa aku rindu kamu, Vi," lirih Reon yang menaruh kepalanya di bahu gadis itu. Menghirup aroma yang sangat ia rindukan beberapa hari ini. Pemuda itu butuh istirahat.
Dan Ovi pun sadar, betapa besar perasaan Reon untuknya. Dan dia semakin sadar jika sampai kapan pun dia tidak akan pernah bisa terlepas dari sisi pemuda ini.
***
Ovi masih tersadar dari tidurnya. Gadis ini tidak sepenuhnya tertidur. Pemuda yang berada di sebelahnya sudah mendengkur kecil dengan nafas yang teratur. Berkali-kali Ovi menghembuskan napasnya berat mengingat perdebatan mereka tadi. Reon benar, dia tidak akan pernah bisa pergi dari pemuda itu. Selamanya akan begitu.
Ovi memandang sejenak wajah pemuda yang sudah mengisi harinya selama tiga tahun lebih ini. Wajahnya nampak terlihat lelah sekali. Gadis itu berpikir bagaimana pola tidur Reon ketika empat hari ini dia menghilang?
"Huft, kapan kamu akan berhenti keras kepala, Re. Nggak semua hal yang kita inginkan bisa terwujud. Bahkan untuk aku sekalipun," lirih gadis itu yang masih terus saja menatap kekasihnya yang nampak damai.
Satu tangan gadis itu terangkat, merambat ke pipi Reon yang nampak tegas. Dari dulu wajah pemuda ini tidak pernah berubah di matanya. Reon yang dingin. Dalam tidur pun dia masih nampak seperti itu. Dan sekali lagi Ovi menertawakan bagaimana sikap Reon dulu ketika keduanya belum menjalin hubungan. Yang selalu mengatainya bodoh. Ovi masih mengingat saat di mana Cia harus terbaring di rumah sakit dan itu semua karenanya. Dan Ovi masih mengingat bagaimana khawatirnya pemuda ini kepada sang adik, Cia.
"Andai lo ada di sini, Ci," bisik gadis ini lagi yang semakin mendekatkan diri kepada Reon. Dan dengan senang hati pemuda itu memeluk gadis ini walau masih dalam keadaan terpejam.
***
Di kampus, lebih tepatnya di lab yang nampak sepi. Laboratorium itu hari ini tidak digunakan karena memang tidak ada kegiatan dari mahasiswa di sana. Namun, ada satu orang pemuda yang diam-diam menyelinap ke sana. Memperhatikan sekitar dan mengeluarkan benda pipih dari saku celananya."Bagaimana keadaan dia sekarang?" tanya pemuda itu kepada orang yang berada di seberang sana.
"Mereka masih aman, Bos. Dia masih berada di sekitar gadis itu."
Pemuda itu nampak menyeringai. "Lakukan dengan cepat. Buat mereka sedikit menjauh, dan aku akan melakukan sisanya," perintahnya yang diangguki oleh orang yang berada di seberang sana.
Klik
Panggilan terhenti. Pemuda itu memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. Sekali lagi dia memandang lab ini. Lab yang menjadi saksi di mana semua rencananya akan terwujud.
Thanks to 12k pembaca
Yang gak suka kenapa aku update nunggu view nambah seribu, itu bukan maksud apa-apa yaItu cuma sebagai motivasi aku untuk nulis. Dan selama belum publish, aku jadi bisa nulis draftnya. So, ketika sudah mencapai target jadi langsung bisa publish deh
Dan juga ini melatih diri aku untuk menepati janji
Btw, yang masih kerja dan gak lagi #dirumahaja tetap jaga kesehatan ya. Jangan lupa pakai masker dan cuci tangan
KAMU SEDANG MEMBACA
REON SI DEVIL ✔
Ficção Adolescente[[ SPIN OFF PAIN ]] Sudah tersedia sequel-nya Sebelum kalian baca kisahku, ada beberapa pertanyaan penting yang cukup kalian jawab dalam hati. Apakah jatuh cinta itu perlu? Bagaimana kalau orang yang kamu cintai bukan memperlakukanmu selayaknya pasa...