15

5.7K 264 2
                                    

Reon: Vi, lima hari ke depan aku ada di Bandung. Urusan perusahaan. Maaf kalau mendadak.

Pesan singkat dari Reon membuat gadis itu sedikit tersentak. Dia lupa untuk memberi kabar kepada kekasihnya. Mungkin bercerita mengenai masalah keluarganya. Namun, Ovi merasa sungkan mengganggu Reon yang sibuk dengan perusahaan. Mungkin keputusannya untuk diam adalah pilihan yang tepat.

Berbanding terbalik dengan Ovi, Reon malah mengernyit bingung karena tidak segera mendapat balasan dari gadisnya. Bahkan Ovi hanya membaca pesan dan tidak ada balasan. Reon berniat untuk menelepon kekasihnya, tetapi sekretaris kantor mengatakan jika mobil yang akan membawanya ke Bandung sudah siap. Baiklah, mungkin lain waktu dia bisa menguhubungi gadis itu. Sialnya lagi dia lupa membawa tab yang bisa menghubungkan cip suara yang ia pasang di sekitar gadis itu. Sifat teledornya muncul.

“Papa ... Bunda ....” Gadis itu terus menangis. Menangis keadaan keluarganya. Rika pun dirundung gelisah karena anaknya belum keluar dari kamar. Dika pun begitu, khawatir dengan keadaan Ovi.

“Ovi. Kita makan, yuk? Kamu dari semalam belum makan, Sayang,” bujuk Rika berharap anaknya mau keluar kamar untuk makan. Gadis itu tidak menjawab. Dia butuh sendiri, untuk berpikir. Rika pun menjadi sedih. Wanita paruh baya itu menangis dalam diam. Dan di sebelahnya ada Dika yang mencoba menenangkan wanita yang ia cintai itu.

“Sepertinya Ovi butuh waktu,” kata Dika sambil menuntun Rika untuk duduk. Kini keduanya sedang berada di meja makan. Nafsu makan pagi ini sepertinya tidak ada pada diri mereka. Ditambah lagi dalam beberapa hari ke depan keduanya resmi berpisah.

“Kasihan Ovi, Mas. Dia pasti lapar,” lirih Rika sedih.

“Kita nggak bisa paksa dia,” balas Dika. “Maafkan aku. Maaf karena sudah buat kalian begini,” kata Dika yang lagi dan lagi mengucapkan kata maaf.

“Jangan minta maaf terus, Mas. Ini bukan sepenuhnya salah kamu. Keadaanlah yang membuat kita menjadi seperti ini. Aku tidak pernah menyalahkan kamu atas musibah yang kita alami ini, Mas. Semua sudah kehendak Tuhan.”

“Terima kasih. Terima kasih karena sudah menemaniku hingga sekarang.”

Reon yang sedang berada di luar kota pun tampak khawatir ketika nomor kekasihnya tidak bisa dihubungi. “Coba kamu cek nomor ini. Terakhir kali saya hubungi tidak aktif. Coba kamu telfon dan kalau sudah tersambung segera hubungi saya,” perintah Reon kepada sekretarisnya.

“Baik, Pak.”

Pemuda itu sepertinya khawatir dengan Ovi. Dua hari berlalu, akan tetapi ponsel gadis itu mendadak tidak bisa dihubungi. Ada apa gerangan? Entahlah, ia khawatir dengan gadis itu. Andai saja salah satu cabang kantornya di Bandung tidak ada masalah, pasti dengan sigap Reon langsung meluncur ke rumah kekasihnya itu.

“Shit!” Pemuda itu mengumpat lagi. Rasanya aneh jika tidak melihat kekasihnya setiap hari. Karena memang hari-hari pemuda itu selalu ditemani kekasihnya. Jadi, akan terasa aneh jika Reon sedikit berjauhan dengan Ovi. Dan dia merutuki permasalahan kantornya yang tidak kunjung selesai. Sial.

“Badan kamu panas. Kita ke dokter, yuk?” ajak Rika yang mengetahui jika sang anak sedang sakit.

“Nggak usah, Bun. Nanti sembuh sendiri, kok,” jawab gadis itu yang wajahnya memang pucat. Karena terlalu memikirkan permasalahan orang tuanya yang akan bercerai, gadis itu malah jatuh sakit.

“Jangan siksa diri kamu seperti ini. Ini semua salah kami bukan kamu, Sayang,” ujar Rika yang tidak tega melihat anaknya.

“Nggak, Bun. Aku cuma demam biasa, kok,” balas Ovi mencoba tegar dengan menampilkan senyum yang ia paksakan.

“Baiklah. Ovi ... besok Bunda harus ke pengadilan. Menghadiri sidang perceraian Bunda dan Papa,” kata Rika yang mengundang keterkejutan dari anaknya. Namun, sebisa mungkin gadis itu bersikap biasa dan mencoba menerima keadaan.

“Biar Ovi temani Bunda besok.” Jawaban yang sungguh mengejutkan keluar dari bibir mungil gadis itu. Rika memeluk erat anak satu-satunya yang ia punyai saat ini.

“Kamu di rumah saja. Istirahat. Badan kamu kurang baik, Sayang.”

“Tapi, aku mau temani Bunda,” kekeh gadis itu yang mendesak Rika agar diperbolehkan ikut. Dia ingin berada di samping Rika ketika wanita itu dirundung kesedihan.

Rika nyatanya tidak setuju. “Jangan. Turuti kata Bunda kali ini. Kamu istirahat di rumah. Sembuh dulu baru boleh lakuin apa pun. Paham?” Dan mau tak mau Ovi pun mengangguk. Memang saat itu badannya terasa lemas sekali, akan tetapi dia ingin menemani Bundanya. Karena Rika dengan lantang menolak permintaanya untuk ikut, mau tidak mau Ovi menuruti sang bunda. Gadis itu sejak kecil memang penurut.

Ovi gadis itu saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Keluarganya kini sudah hancur, bahkan semuanya tak tersisa satu pun. Dia butuh sandaran. Dia butuh seseorang untuk berbagi kesedihannya. Dia butuh  Reonnya. Reon. Namun, nyatanya pemuda itu tidak datang.

“Re ... on,” lirih gadis itu yang sesenggukan sejak kepergian sang bunda setengah jam lalu. Ya, dia kembali menangis. Bahkan matanya sudah bengkak ditambah lagi dirinya sedang jatuh sakit.

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Un—”

Lagi, hanya operator yang menjawab panggilan gadis itu. “Reon ... kamu ke mana?” bisik gadis itu hingga kegelapan menyapanya.

Bandung
Reon memang sedang sibuk-sibuknya. Dia rela bekerja lembur untuk segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa secepatnya pulang dan melihat keadaan kekasihnya. Beberapa hari yang lalu pemuda itu mendapat info yang mengejutkan mengenai keluarga Ovi. Dan pada akhirnya Reon memilih segera menyelesaikan urusannya di sini. Malam ini dia akan segera pulang. Dia sudah tidak bisa lagi menunda untuk melihat keadaan Ovi, pasti gadis itu saat ini sedang dalam keadaan tidak baik.

“Katakan kepada Pak Bram jika meeting kita tunda lain hari,” perintah Reon tegas kepada sekretarisnya.

“Tapi, Pak, kata—”

Reon memandang sekretarisnya tak bersahabat, dan sontak saja sekretarisnya itu memilih untuk diam. Dia masih ingin bekerja dan memliki nyawa saat ini.

“Kalau perusahaan Pak Bram tidak mau menunda pertemuan, batalkan saja kerja sama dengan perusahaan mereka.” Perkataan Reon membuat sekretarisnya mengelus dada. Bosnya ini memang senang sekali membuang-buang uang. Tetapi, apa yang bisa dia lakukan? Protes? Tentu saja tidak akan pernah ia lakukan.

“Baik, Pak.” Sekretarisnya itu segera undur diri untuk melaksanakan perintah sang atasan.

Reon mengepalkan tangannya kuat. Dia sedang menahan amarahnya. Dia ingin sekali menghabisi orang-orang yang berani mengusik kehidupan keluarga kekasihnya itu. Ya, Reon sudah mengetahui semuanya. Calon mertuanya nyatanya dijebak oleh seseorang. Mungkin perceraian mereka adalah awal dari kesedihan Ovi, dan Reon pasti yakin jika sebentar lagi kabar buruk itu tersebar maka gadisnya akan semakin bersedih.

“Tunggu aku,” bisik Reon seakan mengatakan kepada Ovi bahwa ia datang. Tanpa pemuda itu sadari Ovi telah tertidur panjang. Ya, setelah gadis itu memilih kegelapan sebagai teman dekatnya.

Tuhan ... jika aku tidak bisa bahagia, tolong beri sedikit aku kebahagiaan meskipun itu hanya semenit saja ...

REON SI DEVIL ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang