18

6.7K 187 12
                                    

Reon mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang lumayan. Pemuda itu sedang terburu-buru ke rumah Ovi setelah mendengar kabar dari Rika. Mimpi semalam yang Reon alami terasa nyata, dan dia bangun ketika menyebut nama gadis itu dengan keras. Dan beberapa saat kemudian ada panggilan telepon dari Rika.

"Reon, Tante mohon cepat ke sini. Ovi tiba-tiba tidak ada di kamar." Suara Rika di seberang sana terasa khawatir sekali.

"Coba Tante cek dulu. Mungkin dia lagi kamar mandi atau di sekitar rumah itu."

"Nggak ada. Tante sudah cek ke semua tempat dan dia nggak ada. Tante mohon, cuma kamu satu-satunya orang yang bisa Tante mintai tolong."

"Baiklah, Tante. Aku akan segera ke sana."

Begitulah ceritanya hingga Reon pun sudah berdiri di depan rumah kekasihnya lagi. Untung jalanan masih lenggang karena ini masih pagi sekali. Dengan segera pemuda itu menekan bel rumah dan dengan secepat kilat juga Rika membukakan pintu. Raut wajahnya penuh kekhawatiran sekali.

"Tante tenang dulu, ya. Kita pasti bisa temukan Ovi," kata Reon mencoba menenangkan wanita paruh baya itu. Dan perlahan Rika pun mulai tenang.

"Oke, begini. Tante sudah cek di rumah ini?" tanyanya dan diangguki oleh Rika. "Semua tempat?" tanyanya lagi dan diangguki oleh wanita itu lagi. Reon tampak berpikir. Apakah Ovi ke rumah temannya? Tidak mungkin, gadis itu tidak pernah menginap ke rumah temannya selain Cia, alias rumah Reon sendiri. Kabur? Untuk apa gadis itu kabur? Rasa-rasanya tidak mungkin.

"Tante, Reon tau di mana Ovi berada," kata pemuda itu dengan wajah seriusnya. Kali ini dia yakin jika tebakannya pasti benar. Setelah semua kejadian ini terjadi, pasti tempat itu yang gadis itu datangi. Pemakaman.

Pemakaman

Dari kejauhan pemuda ini sudah bisa menebak jika gadis yang terus menatap gundukan tanah yang masih basah itu adalah Ovi. Bahu gadis itu bergetar, menandakan dia sedang menangis. Lagi? Haruskah dia melihat keadaan kekasihnya menjadi buruk lagi? Pemuda itu mendekati gadis yang tidak menyadari keberadaannya. Untuk Rika, Reon meminta wanita itu untuk tidak ikut. Awalnya Rika menolak, tetapi pemuda ini terus meyakinkan Rika hingga wanita itu pun menurut.

Reon menyamakan kedudukannya dengan si gadis. Berjongkok seperti yang dilakukan gadis itu. Membelai surai sang gadis dengan lembut. Karena terdapat pergerakan di sebelahnya, Ovi pun menoleh dan mendapati Reon di sana. Gadis itu sedikit terkejut, namun dia kembali fokus menatap gundukan tanah itu. Satu yang dia harapkan, gundukan itu tiada dan sang papa berada di sebelahnya dengan memeluknya erat. Andai itu bisa terjadi.

"Bunda nyariin kamu. Dia khawatir anaknya tiba-tiba hilang. Pulang, yuk, Vi," ajak pemuda itu dengan suara lembut. Gadis itu menggeleng pertanda dia menolak. Dia masih ingin di sini, bersama papanya.

"Kasihan Bunda. Dia lagi sedih. Kamu tega tinggalin Bunda sendirian?"

Bunda? Ovi melupakan satu-satunya orang tua yang ia miliki saat ini. "Bun ... da," lirih gadis itu sambil mengingat sosok Rika.

Reon mengangguk. "Iya, Bunda. Pulang, yuk," ajak Reon lagi yang membuat gadis itu bimbang. Di satu sisi ada Rika yang mungkin sangat membutuhkannya saat ini. Di sisi lain ada sebagian dari diri Ovi yang ingin berada dekat dengan sang papa.

"Pa, jangan tinggalin Ovi."

"Nggak, Sayang. Papa nggak akan pernah tinggalin kamu. Di sini," kata Dika sambil menujuk bagian jantung anaknya. "Papa akan selalu ada di sini."

Ya, gadis ini masih ingat perkataan sang papa. Selamanya pria itu akan selalu ada di dalam hati Ovi. Sampai kapan pun dan tidak akan pernah sekalipun gadis itu melupakan papanya.

Pa, maafin Ovi. Maaf karena belum bisa membahagiakan Papa. Pa, jagain Ovi dan Mama ya dari atas sana. Ovi selalu berdoa agar Papa mendapat tempat paling nyaman di sana, batin gadis itu seakan sedang berbicara dengan papanya. Kemudian, Reon pun menggiring kekasihnya itu pulang. Ajaibnya Ovi menurut, mungkin gadis itu mencoba untuk mengikhlaskan semuanya. Hidup harus terus berjalan seberat apa pun musibah yang kita dapat saat ini.

Reon dengan telaten membawa kekasihnya menuju ke mobil. Memasangkan seat belt dengan lembut agar sang kekasih tetap nyaman, kemudian mulai menjalankan mobilnya perlahan. Oke, Ovi saat ini sedang rapuh, dan sangat tidak baik baginya jika mengeluarkan amarah di saat seperti ini.

"Berhenti." Reon mengerem mendadak karena mendengar perintah gadis yang berada di sebelahnya.

"Ada apa?" tanya Reon mencoba bersabar.

"Itu," jawab Ovi sambil menujuk pedagang bubur yang berada di seberang jalan.

"Kamu mau bubur?" tawar pemuda itu yang langsung diangguki oleh Ovi dengan mata berbinar. Astaga, kekasihnya ini lucu sekali. Dan Reon sudah tidak tahan untuk tidak mencubit pipi gembul Ovi itu yang tentu saja mendapat protes dari si pemiliknya.

"Sakittt." Reon pun hanya terkekeh. "Reon, beliin bubur, ya?" pinta gadis itu yang tentu saja disetujui oleh Reon. Dengan sigap pemuda itu keluar dari mobil dan menyeberang jalan. Ovi ia biarkan tetap berada di dalam sana. Untung saja antrian pedagang itu hanya sedikit, mungkin karena masih terlalu pagi. Makan bubur di pagi hari memang enak. Apalagi ditemani oleh sang pujaan hati.

"Makannya di rumah aja. Sekalian sama Bunda juga," kata Reon yang disetujui oleh gadis itu. Kemudian, keduanya melanjutkan perjalanan pulang yang sempat tertunda tersebut.

Sedikit namun pasti, gadis ini mulai terbiasa dengan keadaan. Keadaan di mana ia sudah menjadi anak yatim. Keadaan di mana sang papa tidak akan pernah terlihat dari pandangannya. Namun, Ovi yakin jika papanya selalu berada di sekitarnya. Menemaninya ke mana pun ia pergi. Melindunginya dari segala hal yang buruk. Sang papa akan tetap selalu di hati Ovi. Selamanya.

"Nanti jangan pulang dulu, kita pulang bareng. Kalau aku nggak datang, kamu tunggu di parkiran karena mungkin aku akan sedikit telat. Ada bimbing skripsi sebentar," jelas Reon kepada Ovi yang diangguki saja oleh gadis itu. Ya, gadis itu sudah mulai berkuliah lagi. Melanjutkan masa depannya dan menutup kesedihannya. Untung saja ada Reon yang selalu berada di sisi gadis itu. Jika tidak, Ovi tidak akan tahu lagi bagaimana hidupnya saat ini.

"Ovi, astaga! Akhirnya lo masuk juga!" pekik Kiki yang pertama kali melihat sosok gadis itu. Sudah seminggu gadis itu tidak berkuliah, dan betapa rindunya Kiki dengan sikap ceria dari temannya itu. Gadis ini pun hanya tertawa, ternyata teman kampusnya juga merindukannya.

"Iya, gue udah masuk. Nggak kurang sama sekali. Dan yang paling penting gue tambah imut, cantik, dan menggemaskan," balas gadis ini dengan pedenya yang membuat keduanya menjadi tertawa. Kiki pun salut dengan satu temannya ini. Menutupi kesedihan dengan senyuman.

"Astaga, nggak pernah berubah ternyata nih anak." Satu per satu teman dari gadis itu pun mengucapkan belasungkawa mereka kepada Ovi.

"Vi, gue turut berduka cita dengan meninggalnya papa lo," kata Roni tulus. Pemuda itu sudah mengetahui kepergian Dika, dan dia sudah ke rumah Ovi, namun gadis itu mengurung diri di dalam kamar, itulah yang Rika katakan kepada Roni saat itu.

Ovi pun tersenyum. "Terima kasih, Roni."

"Sama-sama. Kalau lo butuh bantuan apa pun, lo bisa hubungi gue, Vi. Jangan pernah sungkan, oke," kata Roni memperingati gadis itu. Ovi sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri.

"Terima kasih, Ron. Lo udah bantu banyak hidup gue," balas Ovi dan tersentuh melihat teman-temannya yang selalu baik kepada dirinya. Selain dari Cia, gadis itu juga mendapat kehangatan hubungan pertemanan di sini. Sedikitnya kehadiran mereka mampu membuat diri Ovi tidak merasa kesepian sebab ditinggal pergi oleh sang sahabat.

"Gue nggak tau lagi harus berkata apa. Terima kasih Ki, Ron," ucap gadis itu sambil menghapus air mata bahagianya.

"Pakai nangis segala. Jelek tau, Vi," cibir Kiki dengan nada becandanya yang membuat ketiganya pun tertawa. Astaga, Ovi bahagia mendapat orang-orang baik dan tulus seperti mereka.

Tuhan, terima kasih sudah memilihkan mereka untukku. Aku berharap, kehangatan ini akan terus berlangsung selamanya.

REON SI DEVIL ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang