12 - Sebuah keputusan

90.2K 6.9K 505
                                    

Fauzan menghela napasnya. Bosan, itulah yang dirasakan Fauzan sekarang. Berada di ruang inap hanya sendirian membuat laki-laki itu tidak tahu harus melakukan apa.

Sekarang belum waktunya pulang sekolah, itu tandanya teman-temannya belum bisa menemaninya. Sebenarnya Bonek dan Regan sudah menawarkan diri untuk menemani Fauzan saja, namun Fauzan menolaknya. Ia tidak mau melihat mereka bolos karenanya, terlebih lagi mereka bisa kena amuk Kufa kalau ketahuan bolos lagi.

Sedangkan keluarganya?

Sudah pasti papanya kerja, Keano masih sekolah, dan mama tirinya itu mungkin sudah lupa dengan keberadaannya. Biarkan saja, Fauzan tidak mau ditemani oleh satupun anggota keluarganya.

Fauzan memikirkan perkataan Bonek semalam, Bonek mengatakan kalau laki-laki itu sempat melihat Metta di rumah sakit ini sebelum mereka masuk. Meskipun mencoba tak peduli, namun tetap saja, Fauzan tidak bisa berhenti memikirkannya.

Sudah dipikirkan matang-matang kalau laki-laki itu memutuskan untuk menikahi Metta. Bagaimanapun juga, anak itu adalah anak kandungnya sendiri, darah dagingnya sendiri. Masa bodoh dengan orang lain dan akan seperti apa nantinya, yang penting Fauzan sudah berani melangkah dan berani mengambil sebuah keputusan.

Jika keputusan sudah ada, maka hal yang harus Fauzan lakukan sekarang hanyalah memberitahu orang tuanya. Tidak sulit, namun bingung harus memulainya dari mana.

Suara pintu terbuka menyadarkan Fauzan dari lamunannya. "Kamu udah bangun?"

Fauzan mengernyitkan keningnya ketika mendengar perkataan Rima barusan. Apa-apaan? Ini sudah hampir jam satu siang, Rima pikir Fauzan akan tidur seharian?

Rima menghampiri Fauzan, kemudian meletakan sebuah rantang makanan di nakas. "Tadi pagi Mama pulang dulu pas kamu tidur."

Fauzan ingat. Setelah teman-temannya pergi, wanita itulah yang menemaninya. Fauzan juga sempat di suapi oleh Rima tadi pagi sebelum ia tidur. Jangan kalian pikir kalau Fauzan sudah menerima kehadiran Rima, itu tidak benar. Satu-satunya alasan kenapa Fauzan mau di suapi oleh wanita itu hanya karena terpaksa dan keadaan tubuhnya yang tidak memungkinkan.

Rima duduk di kursi yang ada di samping bangsal Fauzan. "Kamu sebenernya berantem sama siapa, sih? Kok bisa sampe separah ini?"

Fauzan tidak menjawab. Laki-laki itu hanya memutar bola matanya seraya mendengus pelan. Mungkin karena benar-benar muak dengan wanita yang ada di sampingnya itu.

"Kalo kamu ada masalah, coba cerita sama mama. Jujur, mama pengen banget jadi seorang ibu yang sesungguhnya buat kamu."

Fauzan terhenyak. Perkataan wanita itu terdengar sangat tulus. Apa selama ini Fauzan keterlaluan?

Memikirkan perkataan wanita itu, membuat Fauzan berpikiran untuk memberitahu permasalahannya. Tapi, apakah wanita itu bisa mengerti dan menerimanya?

"Gue mau cerita, tapi lo jangan kasih tau papa dulu."

Meskipun terkesan kasar, namun Rima tetap tersenyum mendengarnya. Setidaknya Fauzan sudah percaya untuk bercerita kepadanya. Ia percaya kalau lambat laun anak dari suaminya itu bisa menerimanya.

"Iya, mama gak bakal kasih tau papa."

Fauzan menghela napas, memikirkan kalau ini jalan baik atau tidak. Bercerita kepada wanita yang bahkan belum pernah ia anggap siapa-siapa.

"Kira-kira kalo gue nikah, gimana?" Fauzan tidak menatap wanita itu, ia hanya menatap lurus ke depan.

Rima terkejut namun setelahnya terkekeh menanggapinya. "Kamu mau nikah? Emang udah ada calon?"

FauzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang