22 - Hukuman?

91.6K 6.8K 742
                                    

Pukul setengah enam pagi, Metta masih sibuk memasak di dapurnya. Sederhana, cewek itu hanya memasak nasi goreng saja pagi ini. Tidak apa, setidaknya itu cukup untuk sarapan suaminya.

"Jaket hitam gue dimana?"

Metta menoleh, ia mendapati Fauzan yang tengah berdiri tepat disampingnya. Penampilannya masih belum rapi, baju seragam yang masih belum dimasukkan, kancing baju atasnya yang masih terbuka, serta keadaan rambut cowok itu yang masih basah dan belum disisir untuk dirapikan.

Metta sudah biasa melihatnya, tetapi rasanya tidak bosan untuk memuji ketampanan cowok itu. Didalam hatinya.

"Ada di keranjang setrikaan, tapi belum disetrika," ucap Metta, ia kembali mengaduk-ngaduk nasi gorengnya.

"Kalo capek gak usah dipaksain, gue masih bisa nyuci sama nyetrika baju sendiri," balas Fauzan. Cowok itu kembali melangkah memasuki kamarnya.

Metta tersenyum. Sekarang, ia sudah bisa merasakan sedikit perhatian dari Fauzan. Tidak apa-apa, ia yakin kalau lambat laun cowok itu pasti akan mencintainya. Dan mungkin bisa membalas perasaannya.

Merasa sudah pas, Metta mematikan kompornya, kemudian mengambil piring untuk nasi gorengnya.

Dua piring nasi goreng kecap, lengkap dengan telur mata sapinya juga. Yang paling spesial, nasi goreng ini dibuat dengan rasa penuh kasih sayang dari Metta untuk Fauzan, suaminya.

Mengertilah dengan hormon ibu hamil, karena hormon itu sewaktu-waktu bisa berubah-ubah. Kadang emosian, bisa juga berubah menjadi manja. Bahkan bisa juga menjadi alay atau lebay. Tergantung suasana.

Metta membawa dua piring itu ke meja makan. Setelahnya, cewek yang masih mengenakan baju tidur itu mengambil gelas berikut dengan teko berisikan airnya juga.

"Lo harus gue hukum."

Metta mengernyit, ia melihat Fauzan yang baru saja berbicara seraya berjalan menuju meja makan. Maksud cowok itu apa? Ia merasa tidak berbuat salah kepadanya.

Setelah menuangkan air ke dalam gelas, Metta ikut duduk di dekat Fauzan. "Maksudnya apa?"

Fauzan mengambil sendok kemudian mulai menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. "Lo udah buka-buka HP gue sembarangan."

"Aduh, kalo makan ditelan dulu! Baru ngomong."

Setelah menelan makanannya, cowok yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya itu sedikit melirik Metta. "Gak usah ngelak, gue tau lo ngerti maksud omongan gue tadi."

Metta menghela napas pelan. Ia memang salah karena sudah membuka ponsel cowok itu dan diam-diam memasukan nomor telponnya. "Maaf."

Dengan masih mengunyah makanan, Fauzan mengangguk kecil. "Gue maafin. Tapi lo harus tetep gue hukum."

"Iya deh. Tapi ... jangan berat-berat ya hukumannya," ucap Metta pelan.

"Yang namanya hukuman itu pasti ber-uhuk-"

Metta menyodorkan segelas air putih kepada Fauzan. "Tuh kan, kalo lagi makan jangan ngomong dulu."

Fauzan meminum segelas air putih itu, setelahnya kembali memakan nasi gorengnya. Jadi, begini rasanya diperhatikan oleh seorang istri? Ini rasanya jadi suami? Ini rasanya berumah tangga? Ini rasanya hidup berdua dengan seorang perempuan? Fauzan benar-benar masih belum percaya dengan kehidupannya yang sekarang.

Sebentar lagi mungkin ia akan merasakan sensasi baru, lebih tepatnya berganti gelar sebagai seorang ayah. Sedikit tidak menyangka, namun rasanya ia tidak sabar untuk itu. Ya, perlahan, hari ke hari, ia sudah mulai bisa menerima ini semua. Selanjutnya yang harus ia lakukan hanyalah belajar, belajar menjadi suami yang baik, belajar menjadi ayah yang baik, dan sebelum itu ia harus belajar mencintai istrinya terlebih dahulu.

FauzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang