11 - Babak belur

85.9K 6.7K 171
                                    

Fauzan menyeka sudut bibirnya yang sedari tadi mengeluarkan darah segar. Sial, kenapa ia tidak bisa melawan serangan Arka? Dengan alasan pertemanan Fauzan tidak mau melawan dalam perkelahiannya dengan Arka. Lantas, apakah Arka tidak menganggapnya sebagai teman sehingga laki-laki itu menyerang Fauzan seakan lupa dengan hubungan mereka dulu.

Sepertinya Fauzan melupakan sesuatu kalau dari dulu Arka memang sudah tidak menganggap lagi hubungan pertemanan mereka. Ya, Fauzan sedikit lupa dengan kesalahpahaman itu.

Fauzan berjalan gontai keluar dari rooftop itu. Ini sudah waktunya pulang. Tidak ada yang melihat, itulah yang Fauzan harapkan. Bisa rumit urusannya jika banyak orang yang melihatnya dalam keadaan seperti ini.

Fauzan menghela napasnya lega ketika sudah memasuki kelasnya. Dengan gontai laki-laki itu menuju teman-temannya yang belum menyadari kedatangannya. Fauzan ambruk, tepat setelahnya Fauzan mendengar teriakan dari teman-temannya.

Fauzan tergeletak, namun laki-laki itu masih bisa melihat dan mendengar teman-temannya yang berhamburan menghampirinya.

"Bos! Lo, kenapa? Kenapa bisa kaya gini?" ujar Bonek seraya mengguncangkan bahu Fauzan.

Fauzan ingin menjawab, namun ia tidak bisa. Keadaan tubuhnya terlalu lemah meski hanya untuk sekedar bicara.

"Siapa? Bilang sama kita?" Regan, rahang laki-laki itu mengeras seketika. Ini tidak bisa dibiarkan.

"Siapa orangnya? Lo gak lawan balik?" Kufa tahu. Tidak biasanya ia melihat Fauzan babak belur seperti ini. Bisa ia pastikan kalau Fauzan tidak ikut andil dalam pertarungannya itu. Satu-satunya alasan kenapa Fauzan tidak melawan sudah pasti orang yang dilawannya.

"Udah, mending ke rumah sakit aja."

Semuanya mengangguk mendengar penuturan Kido barusan. Kemudian setelahnya mereka segera membawa Fauzan ke rumah sakit.

----------------------

Metta dan Qila tengah berjalan di lorong rumah sakit. Hari ini Metta akan pulang. Dua hari berada di rumah sakit membuat Metta begitu merindukan rumah kecil nan sederhananya.

Ketika sudah sampai di depan rumah sakit, mata Qila memicing ketika melihat sekumpulan orang yang akan memasuki rumah sakit itu. Qila terkejut ketika melihat seseorang yang tengah di papah oleh dua orang itu.

"Met, liat, deh. Itu bukannya calon suami lo ya?"

Metta menepuk lengan Qila. "Gue gak bakal nikah."

Metta melihat, ia melihat Fauzan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Luka lebam di seluruh wajahnya, juga darah segar yang ada di susut bibir dan hidungnya.

"Terus kalo tiba-tiba Fauzan mau tanggung jawab, lo bakal nolak?"

Metta memutar bola matanya malas. "Itu gak mungkin!"

Mendengus seraya merangkul bahu Metta, Qila membisikan sesuatu, "nothing is imposible!"

Metta menghela napasnya pelan. Ia pun mengharapkannya, berharap seperti apa yang selalu di katakan oleh Qila. Fauzan datang dan mau menikahinya. Namun lagi-lagi Metta harus bangun dari tidurnya, menyadarkan dirinya kalau itu semua hanyalah mimpi saja.

Ketika Metta dan Qila berpapasan dengan Fauzan dan teman-temannya, tidak bisa dipungkiri kalau Metta sedikit khawatir melihat keadaan Fauzan. Laki-laki yang selalu terlihat tegas dan penuh pendirian itu benar-benar terlihat beda sekarang.

"Eh Metta! Nih bebep lo sakit."

Metta menegang. Kenapa salah satu teman Fauzan bisa berkata seperti itu? Apa mereka tau semua masalahnya? Persetan dengan itu semua, Metta lebih memilih tidak menjawab meski Qila sedari tadi menepuk-nepuk lengannya. Metta sadar kalau itu sebuah kode dari Qila, namun Metta tidak mau menurutinya.

FauzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang