35 - Sebuah kesamaan

97.2K 8.7K 2.1K
                                    

SEBELUM BACA, SEPERTI BIASA, KITA RELAKSASI DULU🤣

Kepo dong, menurut kalian ciri khas tulisan saya itu gimana ya?

Kalian tipe pembaca yang kaya gimana?

1. Bacanya pelan-pelan, semua di pahami, dikit-dikit juga karena takut ketemu tulisan to be continue.

Atau

2. Langsung skip narasi, skip momen Fauzan and the geng, cuma baca momen MettaFauz nya aja.

Kalo skip narasi sayang juga ya, saya kan suka ngasih hal tak terduga nih di narasinya🤣

Okelah, HAPPY READING:)

-

-



Berada di atas motor berdua bersama Fauzan, benar-benar membuat perasaan Metta gugup bukan main. Meskipun ini bukan untuk pertama kalinya, tetap saja, rasa gugup bercampur senang tetap menguasai pikirannya.

Ia tidak bisa menduga hal apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah Fauzan akan menuntut penjelasan? Atau memarahinya? Apapun yang terjadi nanti, Metta harap Fauzan tidak akan bertindak menyakitinya. Bukan menyakiti fisik saja, yang paling ia takutkan adalah menyakiti perasaannya. Di samping itu semua, bagaimanapun tanggapannya, ia harus tetap menjelaskan semuanya kepada Fauzan.

Cowok itu berhak tahu tentang kehidupan Metta yang sesungguhnya.

"Langsung pulang?"

Meskipun terhalang kaca helm, Metta tetap mendengar ucapan suaminya. Ia tidak tahu, ingin rasanya berkeliling sebentar namun, takut untuk mengatakannya. Alhasil, ia hanya menjawab dengan anggukkan kepala saja. Ia yakin cowok itu bisa melihat karena baru saja ia beradu tatap dengannya lewat kaca spion.

Momen romantis tapi sangat terasa menegangkan.

Metta benar-benar tidak mengira kalau hidup bersama ketua geng akan terasa menegangkan seperti ini.

"Yakin?"

Dengan ragu Metta menjawab, "iya."

Tidak ada percakapan lagi karena setelahnya, Fauzan sedikit menaikkan kecepatan motornya. Perlu diingat, sampai rumah, Metta harus menanyakan perihal motor ini. Motor suaminya, atau motor hasil pinjaman dari teman-teman segengnya.

Sibuk memikirkan kehidupannya bersama Fauzan membuat Metta tidak sadar akan tepukan di pahanya. Ia menatap Fauzan yang juga tengah menatapnya lewat kaca spion.

"Gak mau turun?"

Metta gelagapan. "E-emang udah nyampe?"

"Mikirin apa sih sampe motor berhenti aja gak nyadar?"

Metta mengalihkan pandangannya. Ia gugup sekaligus merasa malu juga. "I-itu."

"Yang tadi jangan dipikirin."

Metta mengangguk kecil. "Iya."

Setelahnya ia menuruni motor, melepaskan helm kemudian menyodorkannya kepada Fauzan dengan bibirnya yang tersenyum samar. "Makasih ya. Kamu mau langsung ke kafe?"

Fauzan membuka helmnya kemudian turun dari motor. "Mau makan dulu, laper."

Metta menatap Fauzan yang berjalan memasuki rumah. Seharian ini ia bersama Qila, tidak sempat masak di rumahnya. Lalu, bagaimana dengan suaminya yang baru saja berkata lapar? Metta benar-benar merutuki dirinya sendiri karena lupa akan kewajibannya sebagai istri.

FauzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang