Fauzan memijat pangkal hidungnya sendiri. Rasa penat dan pusing sudah merajai tubuhnya, namun apa daya, laki-laki itu harus tetap melakukannya demi keluarga.
Ketika remaja seusianya hanya bisa menikmati, tetapi Fauzan sudah harus bisa mencari. Cowok itu menghela napas seraya menyandarkan tubuhnya di kursi yang ada di ruangan khusus untuknya.
Lembaran-lembaran data itu sangat memusingkan, tetapi harus tetap ia baca dan cermati. Itu laporan pengelolaan kafenya, hasil pemasukan dan pengeluaran setiap bulannya.
Sebenarnya Fauzan malas, lebih baik ia nongkrong dan bermain dengan teman-temannya dari pada harus mengurusi yang seharusnya belum bisa ia urusi itu. Tetapi, cowok itu harus kembali ke niat dan tujuan awalnya untuk mengelola kafe ini. Selain keadaan yang mendesak, cowok itu juga sudah punya tanggung jawab.
"Sudah malam, apa kamu tidak niat untuk pulang?"
Fauzan menoleh, ia mendapati Wiryo---orang suruhan papanya---yang selama ini sudah mengelola kafenya---tepat didepan pintu.
"Sebentar lagi," jawab cowok itu seraya kembali menatap lembaran kertas ditangannya.
Wiryo mendekat, laki-laki yang mengenakan kaus seragam khas kafe yang sudah diambil alih oleh Fauzan itu tersenyum seraya menghela napas. Ia tahu, Fauzan memang lelaki yang sangat pekerja keras dan bertanggung jawab. Berpikiran seperti itu, tentunya ia juga sudah tahu alasan Fauzan mengambil alih kafe dari tangannya itu.
"Ini sudah malam, apa istrimu sendirian di rumah?"
Fauzan melirik sekilas. "Tapi ini harus segera diberesin ini, Om."
Wiryo menghela napas. "Tapi kasian istri kamu, Fauzan, pasti dia sendirian di rumah, kan? Ingat, kamu sudah ada tanggung jawab sekarang."
Menghela napas, akhirnya Fauzan meletakan berkas laporannya dimeja. Cowok itu beranjak dari duduknya kemudian meraih jaketnya yang ada di meja itu juga.
Benar, Fauzan sudah ada tanggung jawab sekarang. Ia tidak bisa meninggalkan Metta sendirian di rumah sampai malam seperti ini, apalagi istrinya itu tengah hamil muda. Fauzan harus bisa mengatur waktu mulai dari sekarang.
Fauzan menoleh menatap Wiryo. "Iya bener, Om. Pasti istri Fauzan ketakutan di rumah."
Wiryo terkekeh seraya menggeleng pelan. "Iya, harusnya kamu tetep di rumah. Pengantin baru biasanya suka betah berduaan di rumah."
Fauzan memutar bola matanya jengah seraya berjalan mendekati Wiryo. "Bukan gitu, Om. Fauzan pulang karena sudah ada tanggung jawab. Bukan karena pengen berduaan di rumah."
"Serius kamu? Kalo Om masih pengantin baru, Om gak bakalan keluar sebelum tujuh hari setelah pernikahan."
"Kalo gitu, Om nikah lagi aja," balas Fauzan, cowok itu mulai melangkah keluar dari ruangan itu.
Wiryo melangkah mengikuti Fauzan. "Kalo bisa, sudah dari dulu Om nikah lagi."
Fauzan melihat ponsel yang baru ia beli sore tadi, sudah jam sepuluh malam. Cowok itu harus segera pulang "Kalo gitu gak usah nikah lagi, Om," ucapnya membalas perkataan Wiryo tadi.
"Iya, mangkanya kamu cepet pulang, jangan sia-siain masa pengantin baru kamu, sayang kalo terlewatkan."
Sampai didepan, Fauzan menghela napas seraya menoleh menatap Wiryo. "Fauzan pulang bukan karena itu, Om."
"Terus kenapa?" tanya Wiryo seraya mengernyit heran.
"Karena Fauzan udah bukan bujangan lagi, jadi harus pulang," ucap Fauzan seraya tersenyum menatap Wiryo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fauzan
Teen FictionMenikah dengan seorang ketua geng karena sebuah kesalahan? Fauzan Reynalfiyandi. Cowok dengan sejuta pesonanya. Ketua sekaligus pendiri geng besar yang bernama Zayeoune. Dia tidak terlalu suka keramaian, tidak terlalu suka dengan pemberontakan. Deng...