TIGA

931 187 40
                                    

KABUR ATAU DICULIK?




Sepertinya aku terlalu banyak dosa hingga Tuhan enggan mengabulkan permintaanku sembilan tahun yang lalu. Dosa itu bahkan membuat urat maluku putus. Setelah meminta salah satu waiter menyiapkan pesanan Karel, aku masih duduk di hadapan cowok itu, menceritakan pertemuan singkat kami di masa lampau dengan mata setengah ngantuk.

"Gimana? Sekarang lo ingat, gak?" aku menyatukan jemari dalam satu genggaman, menatapnya harap-harap cemas.

Karel menggeleng.

Aku mengembuskan napas kasar, "serius nih, lo lupa dulu gue pernah ngomong apa di kantin?"

Cowok itu mengangguk. "Gue cukup hebat menghapus kenangan yang gak penting."

Tidak penting katanya? Hah! Bagus. Ini berarti Karel tidak menyimpan dendam kesumat padaku. Sekarang aku bisa tidur dengan tenang. Aku juga bisa melamar perkerjaan di perusahaan mana pun tanpa perlu merasa takut ditolak mentah-mentah atau langsung diusir satpam. Bayangkan saja: aku sudah berpakaian rapi, siap tempur di ruang interview, lalu tiba-tiba sekelompok pria kekar muncul untuk menyeretku keluar dari gedung dengan alasan diriku masuk daftar top ten calon karyawan yang harus dihindari oleh seluruh perusahaan.

Sebuah dering singkat menyadarkanku dari euforia lamunan. Karel meraih ponsel dari saku jaketnya, mengutak-atik sekilas, lantas mendongak ke arahku dengan raut cemas. Apa aku telah melakukan suatu kesalahan saat merenung tadi? Kentut misalnya? Aku mengendus-endus, tidak ada bau apa pun selain aroma makanan yang menggugah selera.

"Lo ..."

"Gue?"

"Nama lo siapa?"

Aku berpikir sejenak.

"Tara. T-A-R-A. Bukan nama girlband ataupun merek santan."

Karel mendengus, lantas kembali memasang tampang serius. "Tara, lo harus ikut gue."

"Eh?" kantuk yang kurasakan mendadak sirna. "Ikut ke mana?"

"Lo dalam bahaya."

Aku benar-benar tak mengerti maksud cowok ini. Pertama dia bilang tidak mengenaliku. Sekarang dia malah memintaku untuk pergi bersamanya karena ia pikir aku sedang berada dalam bahaya. Lucu sekali. Satu-satunya hal yang dapat membahayakan keselamatanku saat ini hanyalah sepasang sendok dan garpu.

"Gue serius," Karel menyodorkan ponselnya kepadaku.

Ragu-ragu, kuraih ponsel tersebut dan menekuri layarnya yang sedang menampilkan sebuah foto yang–hei, gambarnya tidak asing. Aku tertegun begitu menyadari foto tersebut adalah foto kami yang saat ini sedang duduk berhadapan. Secara refleks aku menoleh ke samping, ke arah yang kuduga tempat si pengambil gambar itu memperhatikan kami melalui kameranya. Tapi hanya ada kendaraan yang berlalu-lalang di depan kafe, diselingi oleh sejumlah pejalan kaki. Tak satu pun di antara mereka tampak mencurigakan.

Aku membaca sebuah pesan singkat di bawah foto itu.

Cewek lo boleh juga.

"Ini maksudnya apa, ya?" tanyaku dengan perut yang terasa melilit.

Karel menghela napas pendek, seolah tak sabar. "Intinya lo dalam bahaya, ngerti? Lo lagi diincar sama mereka makanya lo harus ikut gue."

"Mereka siapa?!" aku semakin tak paham, "emangnya gue udah ngelakuin kesalahan apa?"

Karel memejamkan matanya saat menjawab hal ini, "karena lo kenal gue."

RUNAWAY (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang